MOMEN 10 - BERTEMU MAMA

216 36 10
                                    

Untuk pertama kali selama hidupnya, Kelana melingkarkan kedua tangan di perut Bian. Kepalanya menyender di punggung cowok itu dengan mata terpejam. Semelir angin terasa seperti udara sejuk yang sengaja Tuhan hantarkan sebagai kado keselamatan. Kelana telah lepas dari jeratan berbahaya. Dan penyelamatnya adalah Bian.

"Bi." Kelana berbicara pelan.

Bian memelankan kendaraan, dia sedikit menggerakkan kepala ke belakang. "Iya, Lan. Kenapa?"

"Kenapa lo bisa tahu gue masih di sana?" tanya Kelana.

"Terakhir kali gue liat lo kan di SMA Krida Utama. Temen-temen lo juga gitu. Tadinya, gue cuman mau nyari petunjuk lewat CCTV sekolah itu doang. Tapi ternyata, lo beneran ada di sana."

"Terus gimana lo bisa masuk?"

Pertanyaan itu membuat Bian terkekeh pelan. "Gue sempet diusir sama penjaga sekolah. Satpam itu nggak percaya sama gue. Untungnya, gue temenan sama kapten basket Krida Utama. Gue telepon dia dan akhirnya satpam itu ngijinin gue masuk. Kami ngecek gerak-gerik lo di CCTV. Dari sanalah gue yakin lo masih di dalem. Di antara banyaknya orang yang masuk ke dalam toilet, lo nggak keluar lagi."

Kelana mengulas senyum mendengarkan penjelasan itu. Dari dulu, Bian selalu jadi penyelamat. Entah kenapa, di saat Kelana ada masalah, kebanyakan masalah itu bisa selesai atas bantuan Bian.

"Keadaan Mama gimana ya, sekarang?" tanya Kelana lagi dengan nada khawatir.

"Dia udah sadar," jawab Bian. "Puan telepon gue soal lo yang belum pulang. Puan sendiri ditelepon sama suster yang ngerawat nyokap lo. Ya, kenapa pula suster itu bisa pake HP nyokap lo kalau tanpa persetujuan beliau?"

Kelana mengangguk-angguk. "Gue nggak tahu harus ngelakuin apa kalau terjadi apa-apa sama Mama. Gue ngerasa gagal jadi anak. Gue ...."

"Sttt." Bian berdesis. "Lo jangan begitu. Nyokap lo pasti baik-baik aja."

Kelana mengulas senyum atas ucapan Bian.

"Ngomong-ngomong, gue belum tahu soal pertandingan tadi. Hasilnya gimana?" Kelana berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kalah," desah Bian.

"Serius?" Kelana mengangkat kepala.

"Serius, Lan. Lo kecewa?"

"Bukan." Kelana menggeleng. "Gue cuman kasihan sama lo dan tim lo. Pasti kalian ditekan sama pihak sekolah. Kalian ...."

"Nggak apa-apa. Nggak usah pikirin gue." Bian tertawa meski dipaksakan. "Mungkin sudah takdir gue yang nggak bisa naikin performa tim basket selama menjabat. Enam bulan terakhir ini, gue hanya bisa berjuang. Selebihnya, gue pasrah."

Kelana baru sadar jika Bian sudah kelas dua belas. Beberapa ekskul memang dipengang oleh siswa kelas 12 sampai selesai semester satu. Setelahnya, kelas 12 akan fokus melaksanakan ujian.

"Semangat ya, Bi." Kelana mengusap punggung yang dibalut jaket hitam itu. "Lo udah ngelakuin yang terbaik. Tim kalian juga hebat kok. Lo inget kan waktu pertama kali gue masuk SMA Unggulan Bina Bakti? Semua orang terpukau sama permainan basket kalian."

"Nggak semua orang terpukau," ralat Bian. "Elo kelihatan nggak seneng."

Kelana tertawa saat mengingat awal-awal dirinya masuk sekolah. "Tapi sekarang, gue suka kok."

"Suka gue?"

"Geer. Suka permainan lo dan tim lo!"

"Kalau suka gue juga nggak apa-apa kok." Bian tertawa keras. Dia tidak bisa untuk tidak menggoda Kelana meskipun satu hari saja.

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang