Momen 28 - Hancur

113 15 4
                                    

Kelana menguap sambil memandang hamparan teh yang disinari sinar mentari kekuningan. Daun teh itu terlihat berkilauan, segar. Berbanding terbalik dengan Kelana. Wajahnya berminyak, rambutnya acak-acakkan, badannya terlihat melorot di depan dinding villa.

"Ngopi dulu." Ken memecahkan keheningan. Cowok itu ikut duduk di sisi Kelana sambil menyodorkan kopi yang masih mengepul di dalam gelas plastik. "Kegiatan semacam ini udah gue lakuin sejak gue kelas satu SMP, Lan."

"Oya?" Kelana menarik gelas itu, meniupnya sejenak, lalu menyeruputnya. "Gue kurang tahu kalo lo udah syuting dari kecil. Ya, gue kan ngikutin karya lo baru dua tahun."

"Di dunia enterteint, syuting dari pagi ke pagi itu bakal jadi makanan sehari-hari. Ini masih mending cuma syuting video klip. Nah kalau film? Bisa berbulan-bulan."

Kelana mengangguk-angguk. "Gue baru ngerasain kalau syuting lebih melelahkan dari jualan di toko. Setiap hari Minggu kayak gini, gue sering bantu Mama di toko. Ya, rasanya biasa aja, nggak capek. Tapi sekarang ...."

Ucapan Kelana terhenti saat Ken mengusap pundak Kelana. "Belum terbiasa aja. Kalo dagang kan, lo udah lakuin dari kecil. Coba dibalik. Gue yang suruh dagang. Wah, belum tentu gue tahan."

"Apalagi kalau dagang di tempat gue, ya?" Kelana menyambung. "Lo bukan hanya melayani pembeli, tapi pasti bakal melayani keganjenan mereka. Ya, bayangkan aja, pedagangnya ganteng banget."

"Ganteng ... banget?"

Pertanyaan itu kontan membuat Kelana menutup mulut. Disusul badan yang menegak. "Mmm ...."

"It's okey." Ken tersenyum lebar.

Semenjak perkataan pujian itu terlontar, Kelana sudah seperti seorang siswa yang tengah menahan buang air kecil saat ujian kenaikkan kelas. Dia tidak menyangka mulutnya akan selancar itu berbicara, hingga membuat malu diri sendiri.

Sekarang, pandangan Kelana mengarah ke sudut di sebelah kanan. Dia melihat Linanda, sang penyanyi, tengah duduk di bangku panjang. Dia ditemani cowok berbadan tinggi yang sebelah tangannya melingkar di pundak cewek itu.

"Kenapa lihatin Linanda?" Ken membuyarkan lamunan Kelana.

"Eh ... enggak, kok."

"Mau diginiin juga?" Ken melingkarkan tangan di pundak Kelana.

Aktivitas itu kontan membuat badan Kelana mengencang.

"Becanda." Ken kembali menarik tangan.

Kelana terkekeh. Dia bersyukur karena bisa menyembunyikan degup jantung yang mengeras.

"Lo mau tahu kenapa gue lihatin mereka?" Kelana buka suara lagi.

"Kenapa emang?"

"Disaat ada artis dan beberapa crue yang ditemenin pacarnya, kok elo sendiri aja?" Kelana berbicara tanpa aba-aba.

"Gue?" Ken menarik kopi di atas lantai, lalu menyeruputnya. "Gue baru putus setahun lalu sih. Dan setelah putus, gue malah lebih nyaman sendiri. Lagian, gue pengin fokus karir untuk sekarang."

"Eh serius?" tanya Kelana.

"Masa lo nggak tahu?" Ken melirik Kelana. "Sempet viral kok waktu gue putus sama mantan."

Kelana membisu. Faktanya, dia hanya mengikuti beberapa sinetron serta film Ken. Untuk hubungan asmara atau hal-hal personal Ken, Kelana tidak pernah sekalipun mencari tahu.

"Elo sendiri gimana, Lan?"

"Gue?" Kelana tidak kalah terkejut. "Hahaha. Gue belum pernah pacaran sekalipun sih. Mana ada yang mau, Ken?"

"Terus si Bian?"

Bibir Kelana yang lebar karna tawa, sekarang mengerut.

"Sebagai cowok, gue tahu kalo dia suka sama lo. Gue rasa, elo juga tahu kan? Terus, kenapa nggak sama dia?"

Pikiran Kelana kembali melayang kepada berbagai kejadian yang tak terhitung. Sejak awal Kelana masuk sekolah, Bian memang selalu mengejar-ngejar Kelana. Bahkan yang awalnya Kelana tidak membuka diri, perlahan-lahan Kelana mulai menganggap keberadaan Bian, meski tidak lebih dari teman.

"Huh .... Kok jadi gue yang tertekan sih?"

"Siapa suruh nanya ke gue soal pacar? Ya gue tanya balik lah." Ken terkekeh.

"Sebenarnya, gue berusaha menghindari punya hubungan sama siapa pun. Gue lebih fokus sama sekolah dan Mama," ucap Kelana. "Selain itu, Ken itu anak ketua yayasan. Gue nggak mau kalau seandainya status dia yang anak orang kaya bikin hidup gue tambah runyam. Gue yang nggak ngapa-ngapain aja di-bully terus di sekolah. Apalagi kalau gue punya hubungan sama Bian?"

"Tapi, lo suka juga kan ke Bian?"

Pertanyaan itu membuat Kelana melotot. Di pikiran Kelana, mulut Ken mirip sekali seperti peluru yang baru keluar dari dalam pistol. Sat set sat set tanpa memikirkan perasaan lawan.

"Suka?" Ken masih menunggu jawaban.

Kelana melihat jam tangan. "Udah jam tujuh nih. Gue harus siap-siap." Kelana berdiri, lalu pergi begitu saja.

"Lan?"

Kelana yang sudah melangkah, berbalik badan lagi. "Apa?"

Ken menyodorkan kopi milik Kelana yang masih penuh. "Abisin nih. Jarang-jarang gue nyeduhin kopi buat orang lain."

Kelana tersenyum kikuk. Dia mengambil kopi itu, kemudian benar-benar menjauh dari hadapan Ken.

***

Kelana menghela napas saat sudah masuk ke dalam ruangan Irgi di kantor management. Badan Kelana tidak setegap biasanya. Jika tidak ada panggilan mendadak dari Irgi, Kelana sudah pasti langsung pulang ke apartemen dan terlelap di atas kasur empuk.

"Ada apa, Kak?"

Irgi yang dari tadi berdiri sambil membelakangi Kelana, kini berbalik. Terpampang rambut bergaya french crop yang bagian depannya diwarnai merah muda. Gaya rambut itu terlihat serasi dengan kemeja lebar yang dipadu dengan celana cut bray.

"Katanya, kegiatan syuting terhambat ya gara-gara elo sering salah," ucap Irgi tanpa basa-basi.

Pertanyaan itu membuat Kelana memejamkan mata sejenak. "Gue bener-bener nggak bermaksud bikin semuanya rusuh, Kak. Gue baru pertama kali syuting video klip. Jadi ...."

"Tandanya," Irgi mendekat ke arah Kelana. "Lo harus sadar diri!" Ucapan itu terlontar dibarengi dengan gerakkan telunjuk di hadapan wajah Kelana.

Kelana membatu.

"Ah ...." Irgi melangkah lagi ke mejanya. Dia mengambil map berwarna merah dan menyodorkannya kepada Kelana. "Jadwal les modeling, acting, dan dancing sudah ada di sini. Mulai besok, lo harus latihan. Buktiin kalo lo artis pendatang baru yang mau belajar. Bukan Cuma modal viral karena joget-joget doang!"

Kelana menggigit bibir sebelum menerima map itu. Sikap ramah Irgi saat di Bincang Tawa benar-benar telah hilang.

"Okey, Kak." Kelana mengangguk-angguk. "Gue usahain."

"Gue usahain?" Irgi ngegas lagi. "Lo siapa? Jadwal ini udah pasti harus lo lakuin. Lo bisa cancel kalo ada kerjaan mendadak. Masalah lain-lain, nggak ada alasan!"

Dalam situasi ini, ada semacam dorongan dari dalam diri yang membuat dada Kelana mendadak berat. Hal itu langsung mempengaruhi matanya hingga berkedut. Berkumpullah air mata di ujung-ujung mata. Dalam hening, Kelana berusaha menyeka air mata tanpa bersuara.

"Lana," desah Irgi. Mata bulat itu menelisik wajah Kelana yang basah. "Coba lo hitung. Berapa artis yang viral dadakan mendadak jobless gara-gara nggak mau belajar di dunia enterteint?"

Kelana masih sibuk mengusap air mata yang turun susul menyusul.

"Gue neken lo kayak gini bukan karena professional kerja aja. Gue emang benar-benar care sama lo. Lo punya potensi besar." Irgi mendekat ke arah Kelana. "Jadi, lo harus tahan ya. Harus kuat. Mental lo diuji di dunia enterteint." Ucapan itu berakhir dengan rengkuhan lembut Irgi. Cowok itu seperti abang yang tengah mendekap adiknya. "Gue yakin, elo bisa."

Kelana mengangguk, disusul suara tangis yang cukup keras.

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang