Momen 38 - Tersebar

101 16 1
                                    

Kelana melangkah lunglai setelah turun dari mobil. Pikirannya masih berkutat dengan banyak hal. Pertama soal operasi mamanya yang akan dilakukan dua hari lagi. Bisa membiayai operasi sang mama tentu menjadi satu kebanggaan, tetapi Kelana takut akan dampak dan mungkin ... kemungkinan operasi yang gagal. Tindakan operasi seperti itu sangat berisiko. Bagi orang awam seperti Kelana, operasi adalah satu hal menakutkan.

Kedua, soal keartisannya. Setelah mendapatkan uang dari kerja kerasnya. Kelana mulai merasa semakin malas untuk melakukan berbagai aktivitas. Kemarin, dia bolos les modeling dan acting. Dia juga menolak satu undangan talkshow di televisi. Tentu saja manager menghubungi dan memarahi.

Ketiga, soal Ken. Sampai saat ini, keberadaan Ken tidak diketahui sama sekali. Bahkan berita Ken yang menghilang sudah naik ke media sejak dua hari lalu. Masalahnya, Kelana sama sekali tidak tahu penyebab Ken pergi. Apa ada hubungannya sama gue?

Keempat, soal Bian. Dulu, Kelana selalu ingin Bian pergi dan tidak menganggunya lagi. Namun sekarang, setelah Bian mengabulkan permintaan itu, hidup Kelana terasa janggal. Harusnya, lo seneng, Lan! Nyatanya tidak seperti itu.

"Beneran nggak sih dia begitu?"

"Lihat tuh, simpenan om-om!"

Kelana yang sedang berjalan di lorong-lorong kelas, mendadak menghentikan langkah. Ucapan itu menggelitik telinganya sehingga membuyarkan banyak hal yang tengah dia pikirkan. Dia yang awalnya fokus dengan masalah-masalah hidupnya yang sudah rumit, kini mulai melihat wajah murid-murid yang masih ada di luar kelas. Masing-masing dari mereka memegang HP dan melihat ke arah Kelana.

"Pantesan ya, karirnya langsung melejit. Ternyata main belakang sama orang penting!" Lagi, ada seorang cewek berbicara cukup keras sambil menatap Kelana.

"Ada apa ya?" tanya Kelana.

Mereka memilih diam ketimbang menjawab pertanyaan Kelana.

Karena tidak mendapatkan jawaban dari orang-orang, Kelana berlari cepat. Kali ini langkahnya tak beraturan. Dia bermaksud untuk segera masuk ke dalam kelas.

Saat masuk kelas, Kelana disambut oleh wajah-wajah tegang dengan mata menyelidik. Dia yang baru sampai di depan pintu menghentikan langkah. Dia mengamati satu per satu orang yang sudah ada di sana. Clarissa, cewek itu menatap tajam. Begitupun gengnya. Puan dan Iti, mereka berdua juga tak kalah menakutkan.

"Sebenarnya ada apa sih, guys?" tanya Kelana. "Ada yang salah sama gue?"

"Jangan pura-pura nggak tahu deh!" Teman sekelas Kelana berbicara tegas. "Berita itu udah nyebar di seluruh media sosial."

Sekarang, Kelana memilih membuka ponsel. Saat mengaktifkan internet, ada berbagai pesan masuk. Ratusan. Tidak terhitung. Kelana memilih membuka Whatsapp-nya terlebih dahulu dan membuka pesan terbaru dari Sri.

Lan, berita lo naik sejam lalu. Lo udah tau?

Kelana menggeleng. Berita apa?

Pertanyaan dalam bentuk chat itu tidak dijawab. Kelana memilih membuka tiktok. Sejak di halapan pertama aplikasi itu, berita yang muncul adalah dirinya. Ada akun anonim yang mengupload sebuah video dengan caption: merinding lihatnya. Generasi bobrok ya gini.

Saat video berputar, alangkah terkejutnya Kelana.. Video itu ternyata berisi berbagai foto yang berhubungan dengan Kelana. Ada foto Kelana yang dibukakan pintu mobil oleh Adi saat dijemput di sekolah. Ada foto adi yang mengusap ujung bibir Kelana saat makan. Ada foto mobil yang difoto dari berbagai arah. Ada pula foto chat dari Adi yang mengatakan akan membelikan mobil.

Saking syoknya melihat berita yang sudah ditonton satu juta orang itu, Kelana mematung di depan kelas. Disusul pipi yang terasa panas. Hingga dia mulai merasa sesak. Rasa sesak di dada itu mengundang air mata untuk mengucur deras.

"Info ini nggak bener," kata Kelana. "Kalian jangan percaya!"

"Halah! Buktinya udah jelas, Lan. Lo simpenan om-om. Kami nggak mau ada murid yang punya skandal!" tegas seorang cowok, ketua kelas.

Ucapan itu disambut riuh dan juga teriakkan dari teman-teman kelas Kelana yang lain. Saat teriakkan itu mengudara, Kelana bisa menangkap mata Iti dan Puan. Mereka turut berkaca-kaca. Namun mereka tidak berbicara sepatah kata apa pun. Kelana juga melihat ke arah Clarissa. Matanya tajam. Ada senyum lebar, seolah informasi yang tersebar merupakan informasi yang membahagiakan untuknya.

Sekarang, Kelana mundur. Dia sudah tidak punya tenaga untuk masuk ke kelas. Dalam situasi seperti ini, dia hanya bisa lari. Saat gerakkan itu dilakukan dengan begitu kencang, teriakan pun mengudara. Orang-orang dari kelas lain juga menyorakinya dari berbagai sudut.

***

Badan Kelana menggelosor di balik pintu kamar. Isaknya tidak berhenti sejak dia memutuskan untuk kembali ke apartemen. Dia sadar, di antara banyaknya air mata yang pernah keluar dari matanya, maka saat ini, air mata yang keluar adalah air mata terpahit. Bullying yang berhubungan dengan fisik bisa dia lawan dengan telak. Namun tuduhan, fitnah, apalagi diketahui seluruh Indonesia, terasa berat untuk dihadang. Sepanjang jalan menuju pulang, tak henti-hentinya Kelana menangis.

Gue harus gimana?

Dia membuka ponsel. Orang pertama yang dia ingat tentu saja Adi. Adi adalah bosnya. Kelana tahu, Adi pasti punya solusi untuk masalah ini. Ditemani isak tangis, dia memilih untuk menelepon lelaki itu.

"Pak." Suara Kelana bergetar. "Bapak udah lihat berita, kan?"

"Lana. Tenang."

"Nggak bisa tenang, Pak." Kelana berusaha berhenti dari tangisnya. "Ini menyangkut harga diri saya. Saya tidak pernah diajari hal buruk oleh orang tua saya. Tapi sekarang, ada kabar kalau saya sama Pak Adi punya hubungan khusus. Gimana kalau Mama saya tahu?"

"Lana." Adi berbicara begitu pelan. "Tenang. Sekali lagi tenang. Kita nggak bisa grasak-grusuk menghadapi masalah ini."

"Ya terus saya harus gimana?" Kelana mulai histeris.

"Untuk sementara, jangan ke mana-mana dulu."

"Itu aja, Pak?" protes Kelana. "Pak. Bapak harus bertindak. Bapak nggak bisa diem aja. Ini semua juga timbul karena Bapak! Saya tidak pernah meminta Bapak melakukan apa pun untuk saya. Saya ...."

"Lana." Embusan napas berat terdengar lagi. "Maaf kalau tindakan saya bikin kamu nggak nyaman. Saya tahu, ini berat untuk kamu. Tapi ... untuk saat ini, saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Orang-orang tidak akan bisa mendengar omongan kita sebanyak apa pun kita melakukan klarifikasi. Kita tunggu reda dulu ya."

Kelana menggigit bibir. Sebenarnya ada ketakutan jika masalah itu dibiarkan berlarut. Namun, Kelana setuju juga dengan ucapan Adi. Netizen Indonesia tidak akan selalu percaya dengan bentuk pembelaan.

"Sekarang kamu di mana?" tanya Adi. "Apa perlu saya ke sana?"

"Saya di apartemen." Kelana langsung menggeleng. "Maaf, Pak. Saya nggak mau ketemu siapa-siapa dulu. Apalagi Bapak. Saya nggak mau pertemuan saya dan Bapak dimata-matai sama orang lain. Saya juga lihat, udah banyak wartawan di depan apartemen."

"Okey," kata Adi. "Yang penting, kamu baik-baik di sana ya. Saya janji. Saya akan selesaikan semuanya. Untuk sementara ini, saya juga harus cari Ken. Saya belum tahu dia di mana."

Setelah telepon selesai, isak tangis kembali berlanjut. Dengan adanya masalah ini, Kelana semakin yakin untuk keluar dari dunia enterteint.

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang