Momen 41 - Pilihan

109 16 0
                                    

Senyum perempuan di foto yang menempel di dinding keluarga itu tidak pernah lepas dari pandangan Ken. Meski Ken tidak pernah bertemu dan berbincang secara langsung, Ken tetap menganggap perempuan berbibir tipis itu perempuan tercantik. Ken juga berpikir, jika seandainya dia masih ada, dia mungkin akan jadi kebanggaan Ken untuk dikenalkan kepada teman-temannya.

"She's so beautiful," ucap Adi yang kontan membuat Ken kaget dan berbalik dari posisinya.

"Ya." Ken mengangguk. "Sayang, Mama nggak cukup baik buat Papa." Ada tawa getir di sana. "Mama seorang anak pengusaha batu bara, cantik, berpendidikan tinggi, tapi ya, Papa kepincut perempuan lain, kan?"

Ucapan itu membuat Adi tak bisa berkutik. Adi hanya menunjukkan ketidaknyamanan lewat sorotan matanya.

"Anyway, udah ketemu si bungsu?" Lagi, Ken berucap sarkas.

"Belum. Tapi Lana memang udah kembali ke Jakarta," jelas Adi.

"Oya?"

"Dia di rumahnya yang lama." Adi mengangguk-angguk. "Kamu nggak mau ke sana?"

Pertanyaan itu membuat kening Ken mengerut. Disusul tawa pelan. "Waw, Papa masih berani masukin Ken ke skenario menjijikan itu?"

"Dia adik kamu, Ken."

"Dia cewek yang lahir dari perempuan yang sudah menghancurkan hati Mama!" tegas Ken.

Ucapan itu membuat Adi menggeleng. Kini, lelaki itu mendekat. Jaraknya tak lebih dari dua meter dengan anak sulungnya.

"Ami dan Lana nggak salah," ucap Adi. "Papa yang salah."

"Halah!" Ken menggibaskan tangan. Sekarang, tatapan mata Ken setajam silet. "Ingat, Pah. Ken pulang bukan karena udah nerima kesalahan Papa. Ken pulang karena punya tanggung jawab sama kerjaan. Jadi jangan harap Ken akan nurutin permintaan Papa lagi soal Kelana. Kalo Papa ingin ketemu Kelana, ketemu aja sendiri!"

Ucapan itu menandakan berakhirnya percakapan. Ken memilih melangkah dengan gerakkan tergesa-gesa menuju kamar.

Sungguh, Ken tidak pernah menyangka kehidupannya akan serumit itu. Terlahir sebagai seorang piatu saja tidak terpikirkan. Kini, fakta bahwa papanya pernah punya istri, bahkan punya anak dari istri keduanya, tak terelakan.

Saat Ken mulai sadar jika Kelana punya hubungan darah dengan ayahnya, Ken langsung mendatangi Ami pada sore itu. Di Pasar Tanah Abang, fakta lebih jelasnya menggelontor dari mulut Ami. Pada saat itu, Ken tidak menangis. Dia hanya membeku cukup lama. Dia mulai sadar kenapa dirinya masuk ke dalam skenario ayahnya. Dalam tebakkan Ken, sang ayah ingin mengawasi anak keduanya lewat Ken. Dari sinilah kemarahannya meledak. Ken merasa seperti boneka yang diperbudak hanya demi membantu ayahnya menebus rasa bersalah.

Setelah bertemu Ami, Ken membiurkan motor tanpa arah. Dari sanalah dia punya rencana untuk menghilang dan menghebohkan seluruh masyarakat Indonesia. Dia menyewa sebuah kamar hotel di Jakarta untuk sekadar menenangkan diri.

Seminggu kemudian, Ken pulang. Dia tahu kabar soal Ami yang meninggal. Dia juga tahu soal gosip yang beredar antara Kelana dan Adi. Di hati kecilnya, Ken ingin sekali datang ke Bandung dan menemui Kelana untuk sekadar memberi support. Namun, rasa benci dan kecewanya lebih besar. Ken belum bisa menyaksikan Kelana dengan status baru yang ternyata adiknya sendiri. Terlebih dia adik yang mungkin dibenci oleh sang mama.

Beberapa kali, Ken juga berniat membeberkan fakta sebenarnya soal hubungan Adi dan Kelana. Namun lagi-lagi, rasa sakitnya lebih besar. Ken tidak sanggup harus membongkar soal identitas Kelana di hadapan media. Ken juga tidak mau menghancurkan karir ayahnya. Jika media tahu ayahnya ternyata punya anak selain Ken, Ken takut berita itu akan berimbas kepada perusahaan management.

Kini, Ken menjatuhkan badan di kasur. Matanya terpejam. Dia berusaha menghilangkan segala kemelut di otaknya. Namun lagi-lagi, otaknya tidak bisa diajak berkompromi. Bayangan Kelana terus berputar.

Tentang kebersamaan, tentang canda tawa, tentang kekaguman Ken kepada Kelana. Ken mendekati Kelana berawal dari suruhan ayahnya. Namun kemudian, dia sadar bahwa rasa nyaman menjalar dahsyat. Dulu, rasa nyaman itu dia artikan sebagai rasa suka kepada lawan jenis. Namun kini dia mengerti, kenapa rasa nyaman itu bisa tumbuh. Ya, mereka punya bapak yang sama.

Mungkin itu semacam ikatan batin?

"Semoga lo baik-baik aja, Lan," ucap Ken pada akhirnya. "Gue emang benci sama lo, tapi gue nggak bisa boong. Gue khawatir sama lo."

***

Isak tangis Kelana masih terbayang di kepala Bian saat terakhir mereka bertemu, sore itu, di lapangan sekolah. Pada saat itu, Bian merasa menang karena mampu mengutarakan kekecewaan dan juga segala isi hatinya. Namun, ada satu penyesalan di sana. Bianlah orang pertama yang menghakimi Kelana sebelum besoknya gosip skandal Kelana dan Adi beredar.

Bukan hanya soal itu. Sejujurnya, Bian sama sekali tidak percaya dengan info yang dia dapatkan dari Clarissa. Hanya karena merasa dikecewakan, Bian mengutarakan itu semua di hadapan Kelana. Ah, penyesalan itu semakin membuncah saat Bian tahu, ibu Kelana meninggal. Temen macam apa lo, Bi?

"Maaf, Lan," gumam Bian. "Maaf banget, gue udah egois. Gue cuma mikirin diri sendiri. Apa yang bisa bikin lo maaafin gue?"

Beberapa hari lalu, Bian sempat datang ke rumah Kelana. Namun ditolak oleh Dadang. Tegas, Dadang berkata, "Kelana nggak mau ditemui oleh siapa-siapa dulu." Mungkin akan jadi wajar jika ucapan itu diutarakan kepada orang yang tidak punya salah. Namun, Bian? Bian semakin merasa bersalah, karena sebelum ibu Kelana meninggal, Bian sempat jadi orang paling jahat untuk Kelana.

Bian yang awalnya terbaring resah di atas kasur, kini bangun dari tempat tidur. Dia mengamati lampu-lampu yang jauh dan tinggi di luar jendela. Kurang lebih, begitulah rasa sayang Bian ke Kelana. Mungkin terlihat jauh, mungkin terlihat kecil dan menyebar, tetapi cahayanya tetap terlihat. Sebesar apa pun kekecewaan Bian kepada Kelana, rasa sayangnya tidak akan pernah hilang dari pandangan.

Sekarang, Bian mengotak-atik ponsel. Dia mengunjungi akun tiktok penyebar informasi Kelana. Dia juga mengunjungi kembali akun twitter yang membuat thread panjang soal dugaan Kelana yang menjadi simpanan Adi.

"Apa gue cari tahu soal ini?" Bian berbicara sendiri.

Bian merasa tidak bisa menebus mulut jahatnya sendiri. Namun, membantu mencari tahu penyebar gosip menghebohkan itu mungkin bisa sedikit membuka pintu maaf Kelana untuk dirinya. Ya, setidaknya, itulah yang Bian harapkan. Di mata Bian, mengetahui si penyebar bukan hanya tahu soal identitas. Namun, Bian dan siapa pun akan tahu kebenarannya.

Sebenarnya, Bian sudah punya satu nama yang dicurigai. Clarissa. Namun, Bian belum punya bukti kuat. Clarissa hanya sebatas menceritakan jika Kelana diduga menjadi simpanan Adi. Itu juga karena Clarissa pernah melihat Kelana dibawakan sepatu dan tas mahal. Sementara selain itu, Clarissa tidak membicarakan apa-apa.

Bian mengangguk-angguk. Dia memilih untuk menghubungi seseorang. "Bantu gue selidikin akun yang nyebar gosip soal Kelana."

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang