Momen 29 - Telah Berubah

95 14 0
                                    

Sudah seminggu ini, suasana kelas jauh berubah. Tidak ada ejekkan. Tidak ada sebutan 'Geng Burik' lagi. Hampir semua orang berseri-seri melihat Kelana. Hanya saja, ketika orang-orang lain mulai baik kepada Kelana. Ada dua orang yang berubah. Sahabat Kelana sendiri.

Tampaknya, Iti dan Puan sudah semakin jauh dengan Kelana. Selain karena mereka berdua selalu menghindar. Kelana juga memang sesibuk itu. Ingin sekali Kelana mengajak kedua sahabatnya mengobrol, tapi lagi-lagi waktunya tidak pas. Setiap pulang sekolah, Kelana dihadapkan dengan berbagai jadwal yang tidak mungkin ditinggalkan. Dari mulai latihan cheers, les terjadwal, hingga mengisi undangan acara.

"Ya ampun Ti, thanks banget ya." Puan mengusap kerudung berwarna putih, disusul gerakkan mengeluskan kain itu ke wajah. "Akhirnya gue punya kerudung ganti."

"Sama-sama." Iti mendorong kacamatanya. "Ibu gue seneng banget tuh bisa jahitin kerudung buat lo. Sebagai tanda syukur juga karena Ibu dapet orderan jahit ratusan baju."

"Ututu. Selamat. Bilangin makasih juga ke nyokap lo ya." Puan merengkuh Iti. "Tapi Ti, gimana caranya gue bales kebaikkan orang tua lo? Masa gue harus kasih adukan semen? Bapak gue kan tukang bangunan."

"Sial lo, Pu!" Iti terkekeh. "Eh, tapi kalo semen mentahannya boleh lah. Tiga bal juga cukup buat perbaikin dapur gue yang rusak."

Jawaban Iti membuat Puan terkekeh. Kehangatan itu terpancar sampai ke pojok kanan, tempat Kelana berdiri sekarang. Cewek itu ikut tersenyum melihat kedua sahabatnya bahagia.

Sebenarnya, barusan Kelana ada di ruang sekretariat cheerleaders. Ada kumpulan di waktu istirahat. Kelana merasa, saat ini adalah waktu yang tepat untuk membuka pembicaraan dengan Iti dan Puan, hingga dia meminta izin keluar dari perkumpulan ekskul barunya itu.

"Guys."

Suara itu membuat tawa Puan dan Iti terhenti. Wajah mereka mendadak datar saat Kelana ada di hadapan mereka. Puan melipat kerudung, lantas memasukkannya ke dalam tas. Sementara, Iti menarik mangkuk bakso dan kembali melanjutkan makan.

"Guys!" Sekali lagi, Kelana bersuara. Dia yang awalnya berdiri, memilih menarik kursi dan duduk di dekat kedua sahabatnya. "Gue minta maaf."

Ucapan itu disambut helaan napas panjang Iti. "Buat apa sih, lo minta maaf?"

"Ya buat semuanya," jawab Kelana.

"Emang elo punya salah sama kami?" Giliran Puan yang angkat suara.

"Ya buktinya, kalian berubah. Kalian nggak kayak dulu!"

Ucapan Kelana disambut lirikkan Puan ke Iti, disusul tawa tertahan. "Gue nggak salah denger?"

"Kami atau elo yang berubah?" Iti menatap Kelana tajam.

"Makannya gue minta maaf sekarang. Gue nggak ada maksud sama sekali." Kelana berusaha mengatur napas yang mulai tidak beraturan. "Lagian, aktivitas gue jauh berbeda sama dulu."

"Selain aktivitas, orang-orangnya juga beda kan?" Puan menyela lagi. "Semenjak gabung di cheerleaders, gue udah nggak liat Lana yang dulu. Gue cuman lihat Lana yang berusaha menyesuaikan banyak hal dengan keartisannya. Menurut lo, emang temanan sama gue dan Iti sesuai sama level lo sekarang?"

"Puan. Ini bukan soal level!" Kelana menggeleng. "Gue sama sekali nggak pernah berubah. Gue juga nggak pernah nganggap kalian lebih rendah dari gue."

"Buktiin kalau gitu!" tegas Iti.

"Caranya?"

"Keluar dari cheerleaders. Terus, kita bareng-bareng lagi kayak dulu."

Perkataan Puan membuat Kelana diam. Kelana ingat tentang perkataan Baron mengenai kontribusi murid terhadap sekolah. Juga soal nilai dan pengembalian nama baik Kelana. Lewat Cheerleaders, Kelana bisa merasakan dilirik dan dianggap anak baik-baik dari pada sebelumnya. Kelana juga ingin membuat ibunya bahagia. Menurut Kelana, sekaranglah saatnya Kelana memperlihatkan prestasi setelah sekian lama hanya membuat sang mama kecewa.

"Gue ..."

"Nggak bisa kan?" Puan tergelak. "Gue udah nggak bisa pegang omongan lo. Satu lagi, nggak usah ngajak kami ngobrol. Kami lebih nyaman berdua begini dari pada ngobrol sama penjilat."

"Tapi ..." Ucapan Kelana terhenti.

"Udahlah." Iti menyambar. "Geng baru lo dateng tuh!"

Kelana melirik ke pintu kantin. Clarissa dan tiga sahabatnya datang. Langkah itu mengarah ke bangku Iti dan Puan. Tentu saja, kehadiran mereka membuat Kelana menarik napas panjang. Disusul dengan kemunculan senyum lebar.

"Ternyata elo di sini, Lan?" Clarissa melirik Puan dan Iti juga, tetapi tidak ada tatapan jijik seperti biasanya.

"Iya, Ca." Kelana berdiri. "Biasa. Gue rindu mereka."

"Lanjut aja, nggak apa-apa." Clarissa tersenyum bersahaja. "Oh iya, nanti malem jadi kan kerja kelompok di apartemen lo? Iti sama Puan ikut juga?"

Pertanyaan itu membuat Kelana kembali menggigit bibir.

"Nggak." Puan menjawab malas. "Lagian, lo sok baik banget sih, Ca."

Clarissa hanya mengerutkan kening.

"Kalau kalian mau ikut, boleh kok. Gue seneng malah." Kelana mengangguk-angguk.

"Nggak usah. Gue sama Puan mau kerja kelompok bareng soalnya." Iti membenarkan anak rambut yang menutupi kacamata. "By the way, lo keren banget ya, Lan, sampe tinggal di apartemen segala. Sahabat lo yang sekarang ..." Iti melirik Clarissa, "dikasih tahu duluan kan soal apartemen? Sahabat emang harus dikasih tahu lebih awal sih. Biar ngerasa dihargain."

***

Sejak sepuluh menit lalu, wajah Kelana masih terbenam di dada mamanya. Dia seperti seorang anak yang baru bertemu dengan sang mama sekali seumur hidup. Kelana yang memang menyempatkan pulang ke rumahnya setelah selesai les akting malam ini, merasa amat beruntung masih bisa mendekap sang mama. Dalam keadaan bernapas.

"Gimana lesnya, Sayang?" Ami mengusap rambut anaknya. "Seru?"

Agaknya terlalu dini menyebut les-les itu sebagai sesuatu hal yang 'seru' terutama karena les itu baru berjalan tiga hari.

"Biayanya pasti belasan juta per bulan," sambung Ami. "Kamu harus bersyukur diberi wadah buat belajar."

"Kelana bersyukur kok, Ma. Tapi ..." Kelana mengeratkan tangan di jari-jemari mamanya. "Lana masih belum nemu rasa nyaman. Kemarin les modelling, hari ini les acting, besok dancing."

"Capek?"

Kelana menghela napas. Ingin sebenarnya Kelana mengangguk. Namun, dia ingat misi untuk mengumpulkan uang. Kelana ingin mendapatkan laporan penghasilan dari KAM dengan nilai fantastis di akhir bulan.

"Enggak." Kelana menelan ludah. "Sudah Lana bilang. Lana hanya belum nemu kenyamanan. Mungkin, emang belum terbiasa."

Terdengar helaan napas Ami yang cukup kasar. Disusul dehaman pelan. "Kalau kamu cape, kamu bisa berhenti kapan aja, Sayang."

"Berhenti?" Pelukan Kelana lepas. "Lana nggak akan berhenti, Ma."

"Mama cuman nggak mau kamu cape."

"Lana jauh nggak mau lihat Mama cape!" Ucapan Kelana terasa menggebu-gebu. "Apalagi, sebulan lagi sewa toko udah harus dibayar. Kita juga perlu uang banyak buat ...."

"Mama bisa pinjem ke bank soal sewa toko." Ami berbicara lagi.

"Terus, Mama mau jadiin rumah ini sebagai jaminan?" Kelana menggeleng getir. "Kalaupun ada bank yang mau nerima. Lana yakin, pinjamannya nggak bisa besar. Belasan juta juga udah mentok, Ma."

"Tahu dari mana?"

"Lana udah kelas 11, Ma. Lana tahu kok sistem pinjaman ke bank itu kayak gimana."

Penjelasan itu membuat Ami akhirnya diam.

"Ma. Lana udah masuk ke dunia baru." Kelana menatap mamanya dalam. "Lana nggak bisa mundur gitu aja. Sekarang, Lana cuma mau mama sehat. Itu aja. Dan Mama harus tahu, Lana sama sekali nggak terpaksa ngejalani ini. Apa yang Lana lakuin sekarang nggak sebanding dengan pengorbanan Mama dari belasan tahun lalu."

Perkataan Kelana berhasil menyentuh sanubari Ami hingga perempuan itu merengkuh anaknya lagi. Jika rengkuhan sebelumnya berisi petuah dan kelembutan. Maka saat ini, Kelana mendengar suara tangis yang berusaha ditahan. Tangis yang pada akhirnya bocor juga.

***

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang