Momen 43 - Kuat

115 16 0
                                    

Udara luar yang Kelana hirup jadi penyeimbang perut yang terasa bergejolak. Selama tiga hari ke belakang, Kelana masih melanjutkan tangisan. Masih berusaha membantah kenyataan. Masih mengeluarkan kata-kata hardikkan untuk Adi karena bentuk kekecewaan. Namun setelah itu, Kelana berkontemplasi. Dia mempertimbangkan banyak hal. Termasuk kesediaan untuk menemui lelaki itu. Saat ini.

Lagi, Kelana menarik napas untuk membuat badannya lebih tenang. Dia yang tengah berdiri di depan rumah Adi, mengangguk. Baginya, sudah cukup mengurung diri selama lebih dari 20 hari. Mau tidak mau, Kelana harus menghadapi kenyataan ini. Tidak mungkin dia bersembunyi terus kan?

Kelana mengetuk pintu tiga kali. Tidak lama, pintu terbuka dan memunculkan sosok yang Kelana kenal.

"Akhirnya." Adi merentangkan tangan, tetapi Kelana menggeleng, mundur dua langkah. Reaksi itu membuat Adi mengangguk pelan. Dia akhirnya mengalihkan rasa canggung itu. "Apa kabar, Lan?"

"Baik, Pak," jawab Kelana singkat.

"Syukurlah." Adi mengangguk-angguk. "Yuk, masuk."

Saat menginjakkan kaki pertama kali di rumah luas itu, Kelana langsung melihat hal kontras antara hidupnya dan juga hidup Adi. Kelana hidup di rumah tipe 36. Rumah yang jika dipikir-pikir, 5x lebih sempit dari rumah yang Kelana injak sekarang. Jika rumah ini berhias lukisan-lukisan klasik di dinding, maka rumah Kelana berhias cat yang melepuh. Jika lantai rumah ini dilapisi marmer, maka rumah Kelana dilapisi keramik zaman dahulu yang kasar.

"Saya senang, Lana. Akhirnya kamu bisa menemui saya. Terus terang, selama ini saya nunggu kamu."

"Saya memaksakan diri, Pak," ucap Kelana jujur. "Kalau nggak sayang sama Mama, saya nggak mungkin ke sini."

"Saya nggak bisa membayangakan sedihnya kamu, Lan." Adi mengangguk-angguk. "Saya juga dulu pernah ditinggal neneknya, Ken. Saya tidak bisa melupakan kejadian itu sampai dua tahun. Dan kamu ... saya rasa, kamu juga nggak mungkin bisa melupakan kejadian itu secepat kilat."

"Kalau kakeknya Ken sudah meninggal juga?"

"Kalau kakeknya Ken, dia meninggal sejak usia saya 10 tahun. Sudah sangat lama. Jadi, saya nggak terlalu merasa sedih pada saat itu. Mungkin karena saya belum mengerti arti ditinggalkan."

"Kasus Bapak sama seperti saya, Pak." Kelana tersenyum tipis. "Menurut orang lain, hidup saya sangat malang karena sejak dalam kandungan, Bapak saya sudah pergi. Tapi menurut saya, pada saat itu saya bukan orang yang malang karena saya nggak merasakan langsung sedihnya ditinggal Bapak."

Badan Adi menegak.

"Justru, rasa sedih itu hadir saat ini, Pak." Kelana menggigit bibir. "Saat saya tahu bahwa ternyata Bapak saya masih hidup. Bapak saya hidup bahagia bersama anaknya yang lain. Sementara saya hidup bersama Mama di dunia yang ....."

Terhentinya ucapan itu dibarengi dengan dongakkan kepala Kelana. Matanya menatap tajam Adi yang mulai bergerak tak keruan. Dari gerak-geriknya, Kelana melihat raut penyesalan. Namun di sisi lain, Adi seperti kesulitan untuk memulai lagi percakapan.

"Kenapa, Pak?" Kelana angkat suara. "Kenapa Bapak lakukan itu ke saya?"

Pertanyaan itu dijawab pelototan syok. "Lana, saya ...."

"Apa tujuan Bapak hadir lagi di kehidupan saya?" Kelana menatap Adi tajam. "Padahal, saya menganggap Bapak tidak pernah ada di hidup saya."

Ucapan tegas dan penuh penekanan dari Kelana mengundang getaran hebat di bibir Adi. Dia yang awalnya mati kutu, kini tidak bisa menyembunyikan segala bentuk ekspresi. Termasuk air mata yang mulai mengalir.

"Lana, maafkan saya."

Kelana menggeleng. Dia turut mengusap air matanya dengan pelan.

"Saya terpaksa meninggalkan kalian pada saat itu. Jika bisa memilih, saya akan memilih keduanya, bukan salah satunya." Adi menggeleng. "Mamanya Ken hanya punya saya. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Sementara, pada saat itu dia sedang hamil besar, dan ...."

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang