9. Sayang

35.9K 5.7K 5.6K
                                    

9 ʚɞ Sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

9 ʚɞ Sayang

Laut membeku usai menerima kecupan di dahi dari Ai.

Ai masih santai membelai rambut Laut, juga mengusap-usap pipinya pakai kedua ibu jari. Ia tidak paham bahwa Laut setegang itu. Laut sampai tak mampu berkata-kata dan hanya membatu dengan tatapan kosong.

"Anakku yang manis," celetuk Ai.

Laut mengernyit. Lagi-lagi heran akan tingkah dan ucapan Ai. "Saya bukan anak kamu," ucapnya.

"Iya, tapi ibuku selalu bilang begitu kalau lagi mainin rambut dan pipi aku. Aku cuma mengulang ucapan Ibu." Ai tersenyum, menjawab kebingungan Laut.

Suara Laut kembali hilang tertelan kenyataan bahwa ia pusing sekaligus gugup menghadapi Ai. Jantungnya akan terus berdentum keras selama jarak mereka setipis ini, apalagi Ai masih melakukan sentuhan fisik dengan Laut. Tangan lembut Ai belum berhenti mengelus kulit mulus wajah tampan itu.

Ai maju sedikit, ia mendekatkan hidung ke rambut Laut. Hidungnya itu bergerak-gerak mencium aroma rambut Laut yang manis bercampur segar. Seperti wangi vanila dipadu kelapa.

"Ai ... udah." Laut meminta Ai berhenti menghirup rambutnya.

Ai menurut dan menghentikan kegiatannya, lalu mundur bersamaan Laut beranjak dari tempat duduk. Laut mencari aman sebelum sentuhan Ai merajalela ke bagian-bagian tubuhnya yang bahkan tertutup pakaian. Pikiran Laut mendadak liar karena Ai jauh lebih liar darinya akibat pengaruh bacaan novel.

Tak bisa ditunda lagi. Detik ini juga Laut mengajak perempuan imut—tapi berbahaya—itu kembali ke kamarnya.

Laut tidak berminat menggandeng Ai, tapi Ai yang dengan sendirinya meraih dua jari Laut untuk digenggam. Mereka jalan beriringan tanpa melibatkan obrolan. Laut sediam ini karena sedang menetralkan gemuruh di dada yang terjadi karena genggaman Ai.

Sesekali Ai melirik Laut yang masih terus bergeming. Laut bisa merasakan lirikan itu meski pandangannya lurus ke depan. Ia tau berapa kali Ai mencuri pandang padanya.

Mereka tetap saling kunci mulut sampai tiba di depan kamar Ai. Keheningan ini baru terpecah saat Ai mengucapkan sesuatu.

"Kamu mau tau rasanya punya ibu, kan?" Ai bertanya, mengingat perkataan Laut ketika mereka di tepi pantai beberapa hari lalu.

Laut belum menjawab, tetapi Ai langsung memeluknya sambil berkata, "Selamat tidur, anakku."

Mendadak Laut tahan napas. Ai menyandarkan kepala di dada Laut sambil memejamkan mata dan mengusap-usap punggungnya dengan balutan cinta kasih layaknya seorang ibu. Mungkin karena dia perempuan dan tau rasanya disayang oleh ibu, jadi dia bisa membagi rasa itu kepada Laut.

"Semoga mimpi indah, jagoan Ibu." Ai berkata lagi.

Usai itu ia melepas pelukannya dan memberi Laut segaris senyuman. Ia melambaikan tangan dan mengucapkan salam perpisahan. "Ibu masuk kamar dulu," kata Ai.

ScenicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang