16. Nature

30K 5.6K 5.1K
                                    

16 ʚɞ Nature

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

16 ʚɞ Nature

Perasaan Laut masih kacau, tak bisa langsung membaik bila hanya dalam kilasan detik. Rasa sesal mendominasi. Ia tertunduk seraya mengusap wajah dengan pikiran berkecamuk.

Dari kejadian ini Laut belajar untuk tidak mengulanginya di lain waktu. Ia mau berintrospeksi. Laut akan lebih mengendalikan diri ketika ia cemburu agar rasa itu tidak melonjak berlebihan dan berakhir merugikan orang lain.

Andai cuplikan itu bisa dihapus dari ingatan Laut dan Ai. Andai Laut mampu melawan amarah. Andai Laut lebih tau diri dan menghormati Ai sebagai perempuan. Andai semua perandaian ini tak hanya sebatas andai.

Entah akan sekecewa apa Zae bila tadi Laut kebablasan. Kalau itu terjadi, apa bedanya Laut dengan Sky? Apa gunanya ia menegur Sky berkali-kali untuk berhenti melakukan hubungan di luar batas bersama perempuan yang belum dinikahi?

Laut akan mengutuk dirinya menjadi batu, atau kalau perlu Laut akan mengubah dirinya jadi katak dan melompat sejauh-jauhnya dari rumah ini. Bodoh. Memalukan.

"Laut, aku sudah pakai baju." Suara halus Ai menyadarkan Laut dari perang yang terjadi dalam pikirannya.

Laut kembali menghadap Ai. Ia duduk bersila, sedangkan Ai berselonjor. Kasur ini serta berbagai benda di kamar Laut menjadi saksi bisu kecanggungan yang terjadi di tengah mereka.

Ai mengamati Laut yang sedang memandanginya sedu. Itu adalah tatapan tersedih yang Laut tampilkan sepanjang hari ini.

"Laut sedih?" Ai bertanya, tentu ia cemas.

Sesuatu mengganjal di hati Laut. Ia tidak mudah memaafkan dirinya yang bisa-bisanya tadi berpikiran ingin menyentuh tubuh Ai lebih jauh dari sekadar membelai pipi atau mengusap tangan. Lebih jauh dari sebatas pelukan. Lebih jauh dari ciuman singkat.

"Sekali lagi, saya minta maaf, Ai," ujar Laut.

Ai mengangguk. "Aku maafin kamu, Laut."

Laut mendesah resah. Ia tertunduk, membungkam lama, dan sekarang memejamkan mata erat dengan kening mengerut yang membuat ujung alisnya hampir menyatu.

"Laut, kamu menangis?" Ai tambah khawatir.

Seketika Laut angkat kepala dan menatap Ai. "Enggak. Saya enggak nangis."

"Oh ... aku kira menangis karena kamu lagi sedih dan tiba-tiba menunduk," tutur Ai.

Laut menggeleng singkat. Ia tidak menangis, tapi hatinya yang menjerit penuh penyesalan. Hatinya menangis pilu menyesali perbuatan bodohnya. Walau itu masih "hampir", tapi rasa sesal Laut tak kunjung selesai.

"Ai." Laut menatap Ai tepat di matanya yang besar itu.

Baru lima detik Laut memandanginya, Ai buru-buru mengalihkan pandangan karena ia tak bisa. Ia tidak kuat ditatap lama oleh Laut karena efeknya bikin wajah panas.

ScenicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang