"Indah" bukan hanya tentang sesuatu yang dinilai sempurna, tapi kenapa hanya yang sempurna boleh merasakan keindahan itu?
𝐒𝐂𝐄𝐍𝐈𝐂
𝑟𝑎𝑑𝑒𝑥𝑛, Dec 2022
Low Fantasy - Romance
⚠︎ story contains violence, sexuality, harsh words, and other mature...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
12 ʚɞ Rumah
Laut menghentikan kegiatannya. Ia memundurkan kepala dan menurunkan tangan dari pipi Ai.
Rasa canggung menyergap Laut sampai ia tidak berani melirik Ai meski sedetik, tak seperti Ai yang dengan terang-terangan menatap lelakinya terus.
"Ai, saya aneh, ya?" Telapak tangan Laut dingin lantaran dia gugup setengah mati.
Ai sedikit memiringkan kepala ke sisi kanan. "Aneh kenapa?"
"Itu ... tadi. Saya enggak—anu, saya enggak pernah begitu sebelumnya." Laut tambah grogi sampai-sampai omongannya tersendat.
Kegiatan yang mereka lakukan di beberapa detik lalu berputar sangat jelas dalam memori Laut bak cuplikan video. Kini wajah Laut memerah, lebih merah dari Ai. Ia buang muka demi menghindari tatapan Ai yang masih terus tertuju padanya.
"Laut enggak aneh. Laut tampan," tanggap Ai.
Gadis itu hanya menambah kegaduhan di jantung Laut. Ia tidak tau setiap kata yang keluar dari mulutnya berpengaruh besar bagi seorang Sea Northern Lonan. Sesederhana sapaan "Hai" cukup bikin hati Laut senyum, apalagi pujian seperti itu.
Kehadiran Ai bagai terang yang mencoba menerobos lubang hitam. Lubang hitam itu adalah Laut.
Laut merasa ia telah menemukan matahari yang dicari sejak lama. Ia telah menemukan rumah yang mampu menampungnya. Rumah tersebut terlalu terang dan penuh harapan sehingga Laut percaya ia bisa tinggal dengan nyaman di sana.
Karena itu juga Laut tidak ingin mataharinya pergi jauh.
"Makasih, Ai. Kamu juga tampa—cantik." Laut gugup lagi.
Senyum manis Ai terukir lebar. Pipinya membulat serta matanya menyipit. Ia mengulurkan tangan menggapai pipi Laut untuk diusap bagian merahnya, berpikir itu sesuatu yang lucu karena warnanya begitu merona.
Duduk di kursi tinggi membuat Ai mudah menyentuh pipi Laut. Ia juga bisa memegang rambut Laut yang saat ini agak berantakan. Ai mencoba merapikan rambut lepek itu, tapi ternyata sulit.
"Jangan, Ai. Itu keringet semua." Laut memegang tangan Ai dan membawanya menjauhi rambut dia.
"Kenapa?" Ai bertanya.
Laut melirik jemari Ai seraya mengusapnya agar tak lagi bernoda. "Jari Ai jadi kotor kena keringet saya."
Balasan Ai cukup tenang, "Enggak apa-apa, Laut. Aku enggak masalah."
"Saya enggak suka. Bukan enggak suka kamu pegang rambut saya, tapi enggak suka kamu sentuh sesuatu yang kotor." Laut berkata.
"Nanti aja kalo mau pegang rambut saya, ya? Jangan sekarang," tutur Laut.
Ai berpikir keras kenapa hal sesepele memegang rambut lepek menjadi sebuah larangan. Ia pikir alasannya bukan hanya karena kotor. Isi pikiran Ai yang tak tertebak itu mulai bekerja mengumpulkan berbagai asumsi mengenai larangan Laut.