Chapter 8

76.6K 4.8K 360
                                    

Deru angin menembus masuk melalui pintu kaca geser pada kamar Ruby yang terbuka lebar.

Saking kencangnya angin malam ini, Ruby pun terbangun dalam keadaan kamarnya yang berpencahayaan remang-remang. Selalu ia matikan lampu di kamarnya saat akan tidur malam.

Kening Ruby mengernyit, menoleh ia melihat kepada pintu kaca itu yang terbuka sangat lebar. Gorden-gorden putihnya yang indah sampai beterbangan akibat kencangnya angin menerjang.

Ruby tak seceroboh itu. Tak pernah sekalipun ia lupa menutup pintu kaca tersebut. Lagi pula sekencang apa pun angin, takkan mungkin dapat menggeser pintu kaca itu sampai terbuka dengan selebar ini.

Meninggalkan ranjangnya, Ruby berderap anggun menuju pintu kaca yang terbuka tadi. Matanya memicing, menarik pintu itu hingga tertutup kini dengan rapat. Ia benarkan pula gorden-gorden putihnya yang berantakan.

Sebelum kembali ke kasur, dari dalam Ruby melihat-lihat ke arah luar. Ia elusi lengannya sendiri, merasakan suasana malam minggu kali ini yang agak berbeda. Mansionnya yang mewah tampak suram, pun atmosfer di kamarnya ini seolah dipenuhi oleh kabut-kabut hitam tak diundang.

Tak. Tak. Tak.

Kilat Ruby melengos cepat ke arah belakang. Matanya membuat nyalang di dalam pencahayaan remang-remang.

"Siapa di situ?" lontar Ruby.

Telinganya tidak mungkin salah. Suara-suara mirip tikaman pada kayu terdengar jelas di kamarnya. Dan suara-suara ini berasal dari arah meja kerjanya di bagian sudut.

Dengan berani Ruby mengambil langkah maju. Sontak ia kian melotot pun bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya berdiri dengan seketika.

Matanya menemukan sesosok duduk di dalam gelap. Pada kursi kerjanya, entah menghadap ke arahnya atau memunggunginya Ruby tak tahu. Tangannya bergerak-gerak, menikam-nikam meja kerja Ruby yang terbuat dari kayu dengan sesuatu di tangannya.

Bergegas Ruby berlari kemudian menyalakan semua lampu di dalam kamarnya. Ketika ia menoleh untuk melihat siapa sosok tadi di sana, kontan nyalinya menciut. Mencelus jauh ke dalam jurang tak berdasar.

"A-apa, apa yang k-kau lakukan di sini?" tanya Ruby sampai terbata-bata. Tak bisa mengecilkan matanya yang terus melotot dan sekarang ia merasa tegang.

Kenneth duduk di sana, di kursi kerja Ruby. Memegang satu belati mengilap tajam, menikam-nikam meja kerja Ruby dan matanya sedari tadi mengamati Ruby dengan begitu intensnya.

Tak bersuara. Terus Kenneth tikam-tikami meja kayu mahal itu. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana jas keren, duduk dengan posisi kaki kokohnya terbuka juga pinggangnya yang agak patah ke dalam.

Sayu, redup tajam Kenneth menyorot Ruby yang hampir lupa caranya bernapas. Tercengang, shock mendapati Kenneth telah berada di dalam kamarnya setelah beberapa jam lalu ia menganiaya pria itu di kolam renang.

"Apa yang kau lakukan di sini?" lontar Ruby lagi. Kewaspadaannya meningkat seratus persen dan buru-buru ia mengambil pistol miliknya di dalam laci meja terdekat.

Itu bukan Kenneth. Ruby tak pernah melihat tatapan Kenneth semistis ini. Kenneth seolah-olah dikelilingi oleh gelapnya aura mistis, dingin menegangkan dan Ruby mulai sesak napas.

Pria itu seperti raksasa yang siap untuk menelannya atau mematah-matahkan setiap inci tulang Ruby lalu dilemparkan ke dalam perapian menyala-nyala.

"Sedang apa aku di sini?" Di sana Kenneth menyeringai tipis. Ia agak menunduk namun matanya tajam menyorot Ruby lekat-lekat. Ia bak patung yang bola matanya saja bergerak-gerak.

Kenneth berdiri. Gontai lamban ia mendekati Ruby hingga wanita itu kian melotot, mengangkat segera pistolnya akan benar-benar menembak Kenneth jika pria itu bertindak nekat.

SLUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang