Chapter 12

72.8K 4.8K 371
                                    

"Kau ini ada tenaga atau tidak? Sudah, biar aku jalan saja," omel Ruby pada sekretarisnya, Ricci.

Ruby belum dapat berjalan dengan baik itu tentu saja. Luka tikam semalam masih sangat basah, akan kembali berdarah jika ia paksakan.

Tapi mau bagaimana, hari ini ia harus segera kembali ke Toronto. Dia bukan wanita pengangguran yang tak memiliki pekerjaan. Dia President Volkov Company dan memiliki bisnis-bisnis besar lainnya. Tak ada waktu baginya untuk terus bersenang-senang, ribuan perekonomian keluarga bergantung padanya.

"Nona, jangan. A-aku bisa, aku bisa menggendongmu. Tolong jangan marah—"

"Diam. Sesampai di Toronto luangkan waktumu untuk pergi berolahraga. Kau pria tapi tak memiliki tenaga," cibir Ruby kesal.

Disuruh menggendong Ruby saja Ricci tak sanggup. Ricci memang berbadan kecil, tetapi kapasitas otaknya yang sangat luar biasa itulah yang membuat Ruby menjadikan pria tersebut sekretarisnya. Ricci andal dalam memberi masukan dan mengelola otaknya dengan cepat, sama seperti Madi.

Keluar dari kamar hotel, bertepatan pula dengan Kenneth yang juga muncul lalu diikuti oleh Tobias dan Balthazar dari kamar VVIP mereka. Ketiga pria itu kompak muncul di depan pintu lantas memperhatikan Ruby yang pincang, jalannya tertatih, satu-satu dan sangat pelan hanya dibantu pegang oleh Madi.

Ruby tak ingin melihat Kenneth. Ia paksa menatap lurus ke depan dan menegakan pundaknya. Sudah sesakit itu pun ia masih mempertahankan gengsinya tak ingin meminta tolong.

"Dia gagah sekali," gumam Madi. Berbisik di dekat telinga Ruby.

Tetap saja Ruby tak ingin melihat Kenneth. Tak berminat melihat pria itu yang keren gagah dengan suit formal serba hitam sedari ujung kakinya.

"Tidakkah kau kasihan padanya, Mr. Taylor?" timpal Tobias. Ia dan Balthazar mengamati Ruby yang terus jalan secara perlahan, hati-hati agar lukanya tidak kembali berdarah.

"Tidak perlu merasa kasihan padaku. Aku bisa sendiri," lontar Ruby segera.

Mimik Kenneth datar-datar saja. Dengan tak acuh ia melewati Ruby, bergontai cepat menuju lift dan diikuti oleh dua sekretarisnya.

Dari dalam lift mata Kenneth tertuju kepada Ruby di sana. Masih jauh dan wanita itu mulai merasa sakit hingga wajahnya agak memerah. Sesekali berhenti dan dipapah oleh Madi dan Ricci.

"Pegang koperku," suruh Kenneth. Memberikan kopernya pada Tobias.

Lantas Kenneth melangkah cepat menuju ke arah Ruby. Tanpa permisi ia seketika menggendong Ruby hingga perempuan itu melotot dan langsung mengalungkan lengannya di leher Kenneth sebagai pegangan.

Sekretaris-sekretaris mereka mengulum senyum setelah saling melempar pandang satu sama lain.

Dengan mudahnya Kenneth menggendong Ruby seperti tak memiliki beban. Ruby sendiri terheran-heran melihat perbandingan tenaga Ricci dan Kenneth.

"Sejahat-jahatnya aku, aku masih memiliki hati nurani," kata Kenneth. Ia melirik ke bawah kepada wajah Ruby yang diam saja, tenang tak bersuara dalam gendongannya.

"Laki-laki mana yang tega melihat perempuan tak berdaya sepertimu harus berjalan dalam keadaan kaki terluka. Belum lagi kau harus berjalan melewati loby hotel untuk sampai ke parkiran mobil," sambung Kenneth di dalam lift.

"Aku bisa—"

"Juga kau harus berjalan dari halaman parkir bandara untuk sampai ke private Jet-mu," potong Kenneth dan Ruby terdiam.

Keempat sekretaris mereka pun diam saja. Dengan setia Ruby mengalungkan lengannya di leher Kenneth lalu lelaki itu sesekali membenarkan gendongannya.

Kenneth menoleh ke samping. "Aku kembali dengan Jetnya."

SLUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang