Chapter 17

73.8K 4.9K 372
                                    

Rupanya Ruby benar-benar tak dapat tidur. Dan Kennethlah yang menjadi sasaran Ruby untuk menemaninya duduk minum bersama.

Sekarang telah pukul empat subuh, tidak lama lagi matahari akan menampakkan diri. Tetapi di sini, di sofa empuk Yacht berformasi C ini, dengan setia Kenneth menemani Ruby minum dan mendengarkan semua celotehan wanita itu.

Kapal pesiar mewah ini serta langit malam menjadi saksi bagaimana kini Ruby mulai terbuka kepada Kenneth tanpa diminta-minta.

"Argh! Alkohol merk apa ini? Kenapa keras sekali?" Ruby mengerang, mengernyit lalu membaca tulisan pada botol alkohol yang ditenggaknya.

Di sini Ruby yang sudah mulai mabuk, tetapi kedua mata Kennethlah yang sayu-sayu memandangi perempuan kacau tersebut.

"Aku yang memproduksinya. Belum terlalu dikenali sebab baru sebulan ini kuluncurkan," jelas Kenneth. Kecintaannya kepada air pusing membuat lelaki ini membuat bisnis alkoholnya sendiri.

Kenneth amati almond eyes Ruby yang indah, mata yang selalu menjadi kesukaannya. Samar-samar ikut mengulas senyum tatkala Ruby melempar kacang ke udara lalu wanita itu tangkap dengan mulutnya namun gagal.

"Uhm? Luar biasa. Dulu aku juga sempat ingin membuat bisnis seperti ini, tetapi semua bisnisku yang sekarang saja telah membuatku kalang kabut," balas Ruby dan ia bersendawa sembari menutup mulut.

Rambut indah Ruby tidak tenang. Selalu beterbangan atas kencangnya terjangan angin laut. Perempuan itu mengenakan hotpants dan tanktop putih. Ia duduk mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, menenggak minuman di botol lantas memejam menghadap langit.

"Aku kesepian," celetuk Ruby tiba-tiba.

Kenneth meminum juga minumannya langsung dari botol. Matanya tetap menatap Ruby dan jakunnya bergerak-gerak menenggak air pusing tersebut.

"Bohong saja jika aku bilang aku tidak kesepian." Ruby terkekeh. Bola matanya memerah pun terasa berat.

"Sedari remaja aku tak memiliki teman. Teman-teman sekelasku tak pernah menyukaiku." Ruby mulai bercerita. Ia masih memejam dan menikmati terjangan angin. Duduk tepat di sebelah Kenneth yang menghadap ke arahnya.

"Sampai di dunia perkuliahan, aku masih tak memiliki teman. Bahkan semakin parah, aku dibenci oleh teman-teman sejurusan juga sekelasku. Mereka mengataiku membayar untuk mendapatkan nilai bagus, dan akhirnya aku selalu berkesempatan mendapatkan beasiswa."

Kenneth diam saja. Mendengarkan curahan hati orang mabuk itu menyenangkan. Matanya tak luput dari wajah memerah Ruby yang mabuk.

"Aku selalu dibully, dimusuhi, dan selalu mendapatkan prank yang sadis. Kecelakaan tragisku delapan tahun silam adalah karena aku mengemudi sembari menangis."

Ini menarik. Semakin serius lagi Kenneth mendengarkan.

Senyum Ruby memicing. Ia menghela napas lalu menenggak kembali minumannya.

"Saat itu aku diundang oleh teman kampusku untuk datang ke pesta ulang tahunnya. Kau tahu? Aku senang sekali, aku bahagia karena kupikir mereka mulai menyukaiku dan ingin berteman denganku," kata Ruby.

"Jadilah aku datang, kubawakan dia hadiah yang mahal. Dress bermerk, tas, dan juga heels. Aku tulus memberikannya. Tetapi, sesampainya aku di sana, beramai-ramai dia beserta antek-anteknya membullyku. Mereka memakiku, menertawaiku, dan mengataiku anak sialan yang tak pantas memiliki teman ataupun pacar.

"Muncullah seorang pria, seniorku di kampus. Kupikir dia ingin menolongku setidaknya menyuruhku untuk pergi saja dari sana. Tapi apa? Dia justru meludahi wajahku, dia marah sekali padaku karena aku melampaui nilainya di jurusan kami, dan aku merebut beasiswa yang seharusnya dia menangkan."

SLUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang