بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]***
"Gus, kalau yang ini?" Sejak sesudah subuh tadi, Ayesha sudah banyak berganti pakaian untuk ia kenakan ke kajian bersama Athallah nanti. Awal baju yang ia pakai, tak disetujui oleh Athallah karena kurang terlihat longgar, Ayesha pun terus mengganti hampir tujuh kali, hingga membuat Athallah heran kenapa ada terus gamis-gamis milik istrinya itu.
"Banyak sekali pakaianmu, Ay," heran Athallah yang malah memikirkan berapa kali Ayesha mengganti pakaian.
"Lah, baru sadar?" tanya Ayesha. Athallah pun mengelus tengkuk lehernya yang tak gatal, ia bingung sendiri kenapa sejak tadi Ayesha berganti pakaian, tak habis-habis dengan beragam gamis warna hitam yang dikenakan.
"Ya... kebanyakan item semua. Menurut saya sama aja. Jadi saya gak tau kenapa bisa sebanyak itu. Kan sama-sama warna hitam kan, ya? Apa bedanya? Kenapa banyak banget?" beragam pertanyaan Athallah berikan kepada seorang perempuan yang hobinya memang seperti ini. Sungguh, lelaki tak akan mengerti jika membahas persoalan seperti ini.
"Ih, ini beda-beda tau, Gus. Gus gak liat apa? Ini tuh Abaya, beda-beda desainnya. Ini juga kebanyakan gamisnya Mama, yang dikasih ke Ayesha. Memangnya kenapa sih, Gus? Bukannya wanita di Tarim itu semua pakai abaya warna hitam? Kan Sunnah, ya, perbanyak pakai warna hitam daripada warna-warni?" Ayesha bertanya balik.
"Iya, tapi ini kebanyakan, Ay," tegur Athallah lembut. "Saya aja kemeja ada tiga. Kamu? Dua puluh."
Membulat kedua mata Ayesha mendengar angka yang ditujukan kepada pakaiannya. "Ih, gak sampai tiga puluh juga kali, Gus. Delapan belas gitu lah, sama warna lain."
"Iya, dua lagi masih di jemur," santai Athallah menjawab, hingga membuat Ayesha yang sudah menyadari jika ditambah hasilnya menjadi 30 pun, ia langsung menyengir.
"Hehe, iya, ya? Kok Gus tau, sih?" heran Ayesha. Padahal, ia yang sebagai pemilik pakaian itu sendiri saja tidak tahu berapa jumlah bajunya, tapi sempat-sempatnya Athallah menghitungnya.
"Ya orang saya yang jemur."
Lagi dan lagi, jawaban itu membuat Ayesha terkekeh menyadari. Mereka berdua sama-sama berbagi tugas jika di rumah. Terkadang Athallah yang mencuci dan Ayesha yang menjemur, dan Ayesha yang mencuci lalu Athallah yang bertugas menjemur. Juga seperti halnya memasak, menyapu, mencuci piring, melipat pakaian, menyetrika dan lain-lain. Tugas itu sering juga mulai mereka lakukan sama-sama.
"Udahlah ya, Gus... ini aja? Kan longgar, nggak liatin lekuk tubuh juga. Kan, kan?" Ayesha masih berdiri di depan Athallah yang duduk di pinggir kasur itu. Pandangan Athallah yang fokus menatap ponsel pun langsung tertuju menatap Ayesha dari bawah sampai atas. Yang tak lama, Athallah pun memberi anggukan kepala sebagai pertanda boleh memakainya.
"Ok. Jangan lupa pakai kaos kaki, warna hitam aja. Jangan warna pelangi," pesan Athallah kembali fokus pada ponselnya dan membuat Ayesha terkekeh di depan lemari untuk mencari keberadaan kumpulan kaos kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATHALLAH AL-HABIBIE
Teen FictionSUDAH TERBIT + tersedia di Gramedia dan TBO [Sekuel IMAMA AL-HAFIDZH versi Wattpad] Menjadi dewasa tanpa kedua orang tua kandung, memang tak semudah yang dibayangkan. Itulah yang dialami oleh seorang pemuda bernama Athallah Al-Habibie. Orang tuanya...