22. Ngambeknya Ayesha

37.5K 3.6K 1.1K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

۞اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ، وَعَلَىٰ آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ۞
[Allahuma sholi ala sayyidina Muhammad, wa ala ali sayyidina Muhammad.]


***

"Akhirnya... selesai juga," keringat dari dahi Ayesha kini ia usap saat ia telah selesai membereskan semua hal di dalam rumah. Kini ia pun duduk di sofa panjang dengan membuang napasnya panjang akibat kelelahan. Tak apa, ini ia lakukan karena memang sejak tadi tampak bosan tak tahu ingin melakukan apa.

Setelah semua beres, barulah Ayesha kembali mengambil ponselnya untuk bermain sejenak. Namun, ia terkejut saat ia mendapati sebuah pesan dari seseorang. "Ning Harum?" lirihnya dengan raut wajah tampak bingung. Segera ia buka pesan itu, ternyata isinya adalah sebuah kiriman foto Athallah yang sedang berada di dapur milik Hasbi. "Kok... ada Gus? Padahal tadi Gus izinnya mau sama Papa."

Kini, wajah Ayesha berubah total. Ia pun dengan rasa cemburunya langsung membalas sebuah pesan yang mengirimkan foto suaminya di sana. "Dasar, awas aja rebut Gus dari Ay," ketusnya kesal sembari mengetik di keyboard ponselnya.

Setelah Ayesha selesai membalas pesan, ia jatuhkan ponselnya itu di sampingnya dan kembali merenungi rasa tidak tenangnya, setelah ia melihat foto Athallah berada di rumah Harumi. "Ngapain, sih, Gus di sana?"

Ayesha bersedekap dada yang tak lama pandangannya tertuju pada si kucing yang terduduk di lantai dekatnya. "Cing, tolong ya itu suami angkat kamu diurusin. Punya istri dua di rumah, malah selingkuh sama tetangga sebelah."

***

Setelah pulang dari rumah Hasbi, Athallah kini pun melangkah pulang ke rumahnya berdua dengan Iqbal, di mana saat ditengah mereka berjalan kaki, yang hana ditemani oleh keheningan, Athallah pun memberanikan diri mencari topik pembicaraan, memecahkan keheningan. "Habie boleh tanya nggak, Pa?" Akhirnya Athallah bisa memberikan pertanyaan itu pada Iqbal setelah sejak tadi ia hanya menyimpannya dipikiran.

"Tanya aja, Bie," jawab Iqbal mempersilakan. Langkahnya diperlambat dengan memandang lurus ke arah depan.

Athallah pun tersenyum, mendengar Iqbal membolehkan untuk ia bicara. "Makasih, Pa, sebelumnya. Habie... cuman mau tanya, kenapa tadi Papa diam aja pas Habie diinterogasi gitu? Tumben tau, Pa. Habie udah merinding. Biasanya kan, Papa yang selalu belain Habie, kalau lagi rapat keluarga kayak gitu."

Tiba-tiba Iqbal terkekeh mendengar ocehan Athallah yang seakan sedang curhat pada dirinya. "Papa nggak tau gimana mulainya, Bie. Bingung mau belain siapa. Soalnya nggak ada yang bisa Papa belain. Nggak ada yang salah. Mungkin yang bener itu membenarkan. Membenarkan untuk lebih benar. Dan Papa, nggak tau soal begituan. Jadi Papa lebih baik diam daripada bicara, daripada Papa bicara, eh ternyata Papa salah ngomong. Nyakitin hati kamu lagi jadinya. Ya jadi Papa diem aja, mempersilakan Paman kamu yang lebih bijak, untuk bicara sama kamu. Papa cuman nemenin aja."

Akhirnya terjawab sudah kebingungan Athallah yang ia simpan sejak tadi. Dipikirnya bahwa Iqbal itu sedang marah karena tak membelanya. Ternyata, Iqbal hanya takut jika ia mengeluarkan perkataan, malah menyakiti hati Athallah. Yang terkadang, susah untuk mengontrol diri. Mulai menyadari, bahwa memang selama ini ada yang salah dari dirinya sendiri. "Berarti... memang Habie yang salah, Pa. Maafin Habie yang dulu selalu membela kesalahan Habie sendiri, ya, Pa? Yang terlalu larut kalau inget Ayah Bunda. Ditambah, niat tadi."

ATHALLAH AL-HABIBIE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang