11 - Gilbert - Weak point

66 16 0
                                    

Ophelia selalu menunduk saat berjalan. Berapa kali pun aku bilang padanya untuk berjalan layaknya seorang lady dengan kepala terangkat, gadis itu selalu melupakan pelajaran etika yang dia dapatkan sejak kecil dan selalu berjalan dengan mengamati sepatu atau ujung roknya yang beterbangan tertertiup angin. Tapi aku tidak akan menegurnya sekarang. Pasti banyak sekali yang ada di dalam kepala kecilnya itu.

"Gill."

"Ya, Ophie?"

"Kita sudah sampai di makam Pappa dan Mamma."

Oh?

Di luar dugaanku, makam keluarga Benilli tidaklah di tempatkan di pemakaman spesial. Makam dua orang itu berjejer bersama makam-makam orang biasa.

"Kenapa kita tidak memindahkannya ke makam yang lebih bagus, Ophie?"

Ophelia menggeleng lalu memberiku sebuah senyum kecil seraya mendongak ke arahku.

"Aku tidak ingin orang tahu kalau ini mereka," katanya, berbisik pada angin.

Ah, ya. Bagaimana bisa aku lupa? Perusahaan Benilli memproduksi tungsten terbaik di kelasnya dalam pembuatan senjata perang selama beberapa dekade terakhir. Sejak perang saudara bahkan perang besar yang baru saja berhenti karena gencatan senjata, banyak sekali orang yang memiliki dendam pada Benilli yang dianggap meraih kesejahteraan di atas peperangan dan kematian massal akibat perang. Terlebih, tidak seperti Ayahanda, Mario kerap muncul di media masa karena gaya hidup eksentrik dan teman-teman selebritasnya. Pun, Selene juga bukan wanita yang paling rendah hati di pesta teh Para Bangsawan wanita. Si Bowser dan wanita sosiopat itu sungguhlag egois. Akibat dari eksistensi mereka yang gila itu, Ophelia memahami dari sejak kecil bahwa banyak sekali orang yang membenci dirinya dan keluarganya. Bagaimana pun ketat penjagaan yang disediakan Selene dan Mario pada anak tunggal mereka ini, Ophelia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri wajah-wajah orang-orang yang membenci hingga bermaksud untuk membunuhnya. Dendam, iri, kemarahan, keputusasaan dan duka yang tidak bisa disembuhkan, Ophelia tumbuh dengan mempelajari perasaan-perasaan itu dari orang-orang yang bermaksud untuk menyakitinya.

"Maafkan ketidakpekaanku."

Ophelia, masih tersenyum manis, bukan hanya mengabaikan kelalaianku, dia bahkan membesarkan hatiku dengan memberiku sebuah senyuman manis dan menggandeng sebelah tanganku dengan lembut. Kami, dunia ini, tidak layak mendapatkan Ophelia.

"Pappa, Mamma, selamat sore," ucap Ophelia seraya melakukan courtesy lalu berdiri di depan makam kedua orang tuanya.

Courtesy milik Ophelia sangat cantik. Semua orang menyukainya, karena itu, gadis ini selalu melakukan itu sejak kecil. Bahkan di saat dia tidak ingin melakukannya sekali pun. Seperti di depan makam kedua orang tuanya ini.

Gadis itu kemudian membuat gestur tangan mempersilakanku untuk meletakkan buket bunga yang kubawa di atas permukaan rumput di kedua makam di depan kami.

"Kau juga, Rufus," panggilnya dengan suara riang kepada pria yang sedaritadi mengekori kami berdua.

Tahanlah dirimu untuk tidak membuat lubang dan mengubur si Rufus itu di sebelah makam Mario.

Rufus Greenwell, pria itu sudah gila.

Dia terobsesi dengan Ophelia seperti orang mesum tidak waras.

Pria berambut merah dengan tubuh raksasa itu menuruti apa saja yang Ophelia inginkan dan mengikuti gadis ini ke mana pun dia melangkah. Rasa-rasanya jika tidak ada orang lain, orang ini tak akan ragu mencium tanah yang dipijaki oleh Ophelia dan meraup udara di sekitar Ophelia untuknya bernapas.

"Tuan Muda, apa ada yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"

"Bagaimana kau sampai pada kesimpulan itu, Tuan Greenwell?"

Her POV (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang