Mataku terbuka dan pemandangan indah itu sekali lagi memberkati pagiku. Wanita cantik berambut cokelat panjang bergelombang, tubuh indah merupa dewi penggoda dan kecantikan bak malaikat. Ophelia Greenwell, istriku, masih terlelap di dadaku. Pundak mungilnya naik turun. Kulitnya putih merona, bak warna kelopak bunga Garden Spirit. Karena keterbatasanku, wanita cantik ini tidak lagi memakai perfum mahal khasnya yang mewangi Gardenia. Aku membuatkannya parfum sendiri dengan bebungaan yang kami temukan selama perjalanan. Dan bayaran yang kudapatkan adalah ucapan terima kasih, wajah merona, senyuman lembut dan pelukan hangat.
Aku merenggut semua kemewahan yang melekat dalam dirinya sejak dia lahir, menyisakan dua bola emas indah yang berkilauan setiap Ophelia menatapku.
Sudah berjalan beberapa bulan sejak kami meninggalkan kediaman keluarga Meyer. Tapi aku masih merasakan perasaan ini. Aku sungguh tidak layak mendapatkan wanita ini, kebahagiaan ini.
"Ah, istriku. Selamat pagi."
Gadis itu tidak langsung membuka mata, dia menggeliat sedikit di dadaku, masih dalam keadaan mata tertutup. Aku menidurkannya ke sebelahku, kemudian mencium kening, pipi, leher, pundaknya. Ah, wangi sekali. Aroma natural gadis ini bisa membuatku gila.
"Pagi, Sayang."
Ophelia memerangkap kepalaku di atas dadanya. Hangat, lembut, erotis.
Seluruh eksistensi gadis ini seperti sebuah puisi yang tidak akan pernah bisa kuungkapkan.
"Hari ini kita akan pergi ke mana?" tanyanya dengan suara serak yang masih mengantuk. Masih menutup mata dengan malas.
"Pulang."
Seketika setelah aku mengatakannya, mata belok Ophelia segera terbuka lebar. Dia bangun dan menatapku lekat-lekat.
"Sungguh?"
"Ya, Istriku. Aku tidak bisa membiarkanmu tidur terlalu lama di dalam van seperti ini."
"Aku baik-baik saja, Rufus. Van ini luar biasa. Apalagi beberapa hari belakangan!"
Lihatlah dia, siapa yang akan menyangka bahwa gadis yang tidak pernah merengek ini adalah seorang anak Bangsawan yang dimanjakan dengan segala macam kemewahan sejak ia menghidup udara di muka bumi ini? Kami melakukan perjalanan untuk berkeliling perbatasan negara kami; hutan, lautan dan pedesaan terpencil. Kami makan di tempat makan sederhana di pedesaan, mandi di pom bensin, atau belanja di mini market.
Ophelia, begitulah aku memanggil istriku, sama sekali tidak pernah mengeluhkan satu hal pun.
"Kita sudah melihat laut, padang rumput, padang bunga, gunung, dan banyak hal lainnya, Ophelia. Kau juga sudah melihat dan belajar banyak hal selama perjalanan. Jadi, kupikir sekarang adalah waktunya kita pulang—"
"Kita juga membeli banyak barang!"
Barang yang dia maksud di sini adalah peralatan yang dijual di pedesaan-pedesaan kecil yang kami lewati selama perjalanan; alat pembuat keju, stoples-stoples berbagai ukuran untuk menyimpan rempah, daun teh, selai atau untuk membuat parfum, gelang yang terbuat dari benang, atau baju souvenir murahan.
"Ya, Ophelia-ku. Apa kau senang berbelanja?"
"Ya. Tapi aku lebih senang bertemu dengan orang-orang dan belajar banyak dari mereka. Aku juga tidak sabar untuk menanam bibit bunga yang diberikan Nenek Pamela di desa yang kita lalui kemarin. Ah, Rufus, kau berjanji untuk membeli hewan ternak dan kuda saat kita pulang, bukan?"
"Oke. Aku akan mengajakmu berkeliling untuk melihat-lihat kuda yang kauinginkan, My Princess."
"Luar biasa! kau yang terbaik, Rufus!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Her POV (COMPLETED)
RomanceDia cantik, tubuhnya molek, rambutnya indah, matanya memukau. Dia berasal dari keluarga terpandang. Sikapnya anggun dan selalu berpakaian dengan santun. Senyumnya ramah, dan semua orang mencintainya. Tapi kemudian, kami menghancurkan dunianya yang g...