10 - Rufus - A Real Bad Guy

68 19 0
                                    

Rasa-rasanya dia akan benar-benar membunuhku.

Tidak seperti dia memelototiku dan menodongku pisau. Demi Tuhan, Tuan Muda Meyer dan pisau. Aku merasa bersalah hanya dengan mengingatnya. Tidak, pria tampan itu tersenyum dan terkadang sesekali mengangguk pada apa yang kukatakan. Tapi tangannya selalu menyentuhi La Principessa. Entah menjiwir pipinya, atau sekadar gestur kecil seperti mengusap rambut gadis cantik itu, bahkan saat La Principessa sedang bicara padaku.

"La Principessa."

"Kau tahu? Kau bisa memanggilku dengan nama saja, Rufus. Panggilan itu membuatku merasa seperti anak kecil saja," ucap La Principessa di sela tawa yang membuat pundaknya naik turun kecil.

Ah, imut sekali. Mana bisa aku memanggilmu dengan namamu sendiri tanpa meledakkan jantungku jika kau menatapku seperti itu, Nona?

"Nona Benilli?"

"Ophelia? Lia? Atau Ophie seperti Gill memanggilku?" tawar Nona mempertimbangkan nama panggilan untuk dirinya sendiri. "Lucas memanggilku Little Lamb, sedangkan Mikaela memanggilku Dearest Fawn. Sudah seperti kebun binatang saja aku."

Hanya Tuhan dan Tuan Besar Meyer yang tahu apa yang akan terjadi padaku jika aku memanggilmu dengan panggilan sayang Tuan Muda kepadamu, Nona.

"Kurasa kau bisa memanggilku dengan 'Ophie', bukan?"

"Tidak bisa, karena panggilan itu akulah penemunya. Sudah dipatenkan," ucap sebuah suara pria yang duduk di sebelah sang Nona. Mata biru laut Aegean itu melirikku dengan penuh kemenangan sekilas, hanya seperkian detik, kemudian pria itu menyodorkan kentang dan ayam goreng ke depan piring sang Nona. "Ophie, habiskan."

"Lain kali, kalau kau tidak menginginkannya, kau tidak perlu memesannya, Gill."

"Karena kalau aku tidak pesan, kau hanya akan makan itu," ucap Tuan Muda Meyer seraya menunjuk semangkuk salad di depan Nona Benilli.

"Gill—"

"Akan kubelikan es krim nanti."

Nona Benilli terdiam sejenak dan menelan kembali gerutu yang hampir terlontar dari bibirnya.

"Vanila?"

Sebuah seringaian yang tidak wajar terbentuk di bibir pria itu kemudian dia tertawa kecil sambil mengangguk.

"Ya, tentu. Vanilla, Ophie. Kesukaanmu."

"Oke. Aku hanya menerimanya karena aku terpaksa saja," ujar Nona sambil menjejalkan satu iris kentang goreng ke dalam mulutnya.

"Ya, ya. Kau sangat terpaksa. Aku tahu. Terima kasih sudah melakukannya demi aku."

Sebuah guyonan yang dia yakin aku memahaminya. Dasar pria ini. Apa dia tidak lelah bersikap seperti itu hanya untuk membuatku kesal? Sangat kanak-kanakan untuk seseorang yang berumur lebih tua dari kami berdua. Pria itu kemudian sibuk dengan ponselnya.

Tadi sebelum kami berakhir di restoran keluarga yang ada di desa yang lebih besar di sekitar lembah ini, aku sempat menjabat tangan pria ini. Aku kira, dia tidak akan repot-repot bersalaman denganku yang bukan siapa-siapa ini. Tapi Tuan Muda menjabatku, bahkan meremasnya keras, seakan dia menyambutku.

Atau mengancamku.

Dia ... memerintahkanku untuk tidak melihat sesuatu yang tidak terjadi saat itu di entah dimana itu.

Aku adalah seorang prajurit yang tertempa. Dia harusnya tahu, aku tidak akan melakukan apa pun yang membocorkan rahasia negara, demi kebaikanku dan orang-orang di sekitarku juga. Aku sedikit menggodanya tadi dengan mencium tangan Nona Benilli di depan matanya. Reaksinya sangat lucu. Tuan Muda terlihat marah besar meski masih bisa mempertahankan dirinya untuk tetap tenang. Mungkin aku bisa berbicara lagi dengannya.

Her POV (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang