Part 8

8 5 0
                                    

*Alera Sea Madhiaz

Gue berkali-kali melirik jam digital yang terpampang di layar handphone gue.
15.00

Weekend kali ini gue punya janji dengan Kak Bumi, senior komunitas menulis yang beberapa hari yang lalu ketemu gue di pantai. Hari ini dia mengajak gue buat meet di Kafetaria deket Gramedia. Rada aneh sih awalnya. Kenapa gak sekalian di Gramedia aja karena kita bakal bicarain soal komunitas. Tapi lalu saat dia bilang,
"Kayanya lebih enak di kafe deh, cuma berdua soalnya."
gue jadi "yaudah"-in aja. Takut ribet nanti kalau gue nolak.
.
.
Jadi ceritanya kita bakal bahas sebuah projek dimana projek itu cuma melibatkan gue dengan dia. Sempet dibahas sedikit saat di pantai waktu itu, saat Sky jadi sedikit gue abaikan. Hehe, sorry, Sky.

Gak tau kenapa, gue bisa menjadi sangat antusias kalau udah menyangkut soal mimpi. Ambis? Bisa dibilang. Tapi lebih ke...gue bener-bener ingin mewujudkannya. Gak ada satu orang pun yang boleh merusaknya. Gue bakal jadi Sea yang 'ekspresif' saat lawan bicara gue sefrekuensi dengan gue. Saat dia sama-sama seperti gue, satu paham dengan apa yang gue pikirkan. And like... Kak Bumi mungkin orang kedua setelah Sky yang bakal bikin Sea jadi 'ekspresif woman'. Haha. Tapi jangan mikir yang aneh-aneh. Because he's just partner. Cuma sebatas rekan. Dan jembatan si. Yeah jembatan. Karena dia bakal jadi 'jembatan' gue buat meraih mimpi gue.

He is the way to achieve our dreams. Eh- my dream. Big gift for me. Suatu keajaiban yang gue tunggu bertahun-tahun.

Kak Bumi punya sebuah misi, yang misi itu bisa terwujud kalau gue ikut andil, katanya. Projek, misi, mimpi. Cuma seputar itu di antara kita. Gak lebih, yaa semoga aja gak lebih.

Gue mengeratkan ikat rambut yang sedikit mengendur karena udah seperempat jam gue menunggunya. Salah gue juga, datang gak telat waktu. Datang lebih awal dengan berpikiran, 'menunggu lebih baik daripada ditunggu'. Tapi realitanya menunggu itu gak enak, banget.

Gue mengecek handphone lagi. 15.03. Ah 2 menit lagi mungkin, pikir gue. Dan benar saja, saat gue menengok ke arah kanan, seorang cowo berkemeja pendek warna biru langit tersenyum ke arah gue. Tangan kanannya menyangkal tali tas yang menyelempang di sagu bahunya. Keliatan banget 'senior', lebih tua dari gue.
"Siang, Sea! Lama nungguin gue?" sapanya sembari menjatuhkan dirinya di kursi depan gue. Di depan dua gelas ice coffee yang gue pesan beberapa menit lalu.

"Sore, kak."

Dia sedikit mengerjapkan mata, "sore, ya? Aiya udah sore," timpalnya sembari melirik jam tangan.

"Iya, hehe." balas gue.

"Okey deh. Kita langsung mulai bahas aja ya? Lo oke kan?"

"Boleh ayo, gue oke."

Dia menganggukkan kepalanya. Kemudian menaruh tas ke atas meja dan perlahan membukanya sembari mengajak ngobrol.
"Gue sempat mampir ke Gramed tadi, ambil beberapa novel yang bisa jadi referensi buat projek baru kita." "Coba lo liat," katanya dengan menyodorkan beberapa novel yang keliatannya hasil kolaborasi dua orang, seperti misi kita.

"Jadi kita bakal bikin kaya gini, Kak?" tanya gue smebari sekilas membuka satu novel yang diberikannya.

Dia mengangguk mantap dengan mata yang berbinar, seolah menyalurkan energinya buat gue.
"Yes, bener banget. Jadi gini Sea. Karena gue cowo, gue kurang menguasai isi hati perempuan. Padahal projek baru ini adalah menulis dari sudut laki-laki dan perempuan. Jujur gue kesulitan kalau soal memahami urusan cewe, maksud gue kalau menulis dari sudut pandang cewe. Karena cewe emang ribet ya kan."

"Enggak kok, gak semua cewe ribet. Gue rasa gue gak ribet, haha," elak gue dengan candaan. Kayak cowo gak pernah ribet aja...

"Yaa ini gue bilang secara keseluruhan Sea, dari pengamatan gue. Hehe. Tapi coba dengerin dulu Sea. Dengerin yang gue bilang, oke?"

Dream, Or You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang