Part 7

22 7 0
                                    

Langit Airlangga Damaresh

Saya menyatakan bahwa...


Gue menarik nafas panjang, meng-klik kolom kirim, loading beberapa saat, kemudian... berhasil.

Haaahh....


Gue selesai melakukan pendaftaran untuk masuk sekolah militer. Gue mengikuti pendaftaran gelombang pertama, dan tinggal menunggu hasilnya, apakah gue lulus seleksi atau nggak. Setelah itu, baru tes tahap berikutnya.

Gue keluar dari portal pendaftaran, masuk tab baru dan searcing tentang dunia kemiliteran. Gue mencari tahu bagaimana seleksi masuknya, bagaimana kegiatan disana, apa aja yang perlu disiapkan, dan banyak lagi. Gue nggak pernah bosan untuk mempelajarinya.

Tapi, dengan sialnya sebuah film melankolis tentang sepasang suami istri dengan suaminya yang merupakan seorang militer mampir di beranda gue. Jelita Sajuba. Gue pernah diceritain sama Arzha kalau filmnya sad ending. Si tokoh laki-lakinya meninggal ketika tugas di pedalaman dan meninggalkan anak dan istrinya yang tengah mengandung. Tch. Nyebelin banget sih harus ada film beginian. Bikin gue baper aja. Gimana kalau nasib gue sama kayak si laki-laki di film itu? Gue pergi meninggalkan orang-orang yang gue sayang?

Aghh sialan.

Gue menggelengkan kepala keras-keras. Menggerutu sendiriran, " Stop Sky. Lo lakik. Jijik banget pake acara baper-baper segala."

Mengabaikan itu, gue kembali fokus membaca berbagai artkel dan blog tentang mimpi gue. Yang kayak gini nih, sangat menguntungkan bagi gue. Cuma tinggal buka internet, berbagai informasi bisa gue dapat dengan mudah. Rasanya gue pengin berterimakasih deh sama sama penulis-penulis penyedia bacaan kayak gini. Wkwk.

Eh, ngomongin penulis gue jadi inget Sea. Dia kan anak jurnalistik di sekolah. Doi hobby banget nulis sampai kadang-kadang gue dicuekin kalau dia tiba-tiba dapat wangsit buat nulis. Kalau mood-nya bagus, sekalinya nulis pasti nggak berhenti-berhenti. Idenya kayak rucika, mengalir terus sampai jauh. Mwehehe.

Gue mengeratkan selimut sampai menutupi kepala untuk menghalau udara yang dinginnya kayak di kutub utara. Diluar hujan, nggak begitu deras sih, tapi anginnya yang sialan. Dengan keadaan yang kayak gini, enak kali ya kalo gue telfon Sea. Sayang-sayangan ditengah hujan gitu kan asik, mwehehe. Eh tapi, gue pengin tanyain mimpi Sea deh. Gue ekepo juga dia udah berjuang sampai mana. Apakah dia se-ambis gue? Apakah perjuangannya mulus? Ataukah ada yang mengganjal kayak gue?

Keputusan gue untuk masuk ke dunia militer emang udah bulat banget. Bahkan gue udah sampai mendaftar. Gue juga udah mengantongi izin semua orang. Cuman terkadang, bayangan kisah-kisah mengenaskan seorang pasukan militer dan hubungannya dengan keluarga menghantui gue. Terkhusus, bayangan kedua orangtua gue yang telah berusia senja. Rasanya berat banget buat ninggalin mereka. Itulah yang selalu gue pertimbangkan.

Gue melakukan panggilan ke nomor Sea, bertujuan untuk mengalihkan pikiran sialan gue yang terus datang. Kalau berbicara dengan Sea, gue merasa lebih tenang.

"Selamat malam, Seayang!" sapa gue pertama kali ketika layar telah menampilkan wajahnya. gue menyapanya dengan panggilan alay favorit gue. gue kira dia bakal mengerling jengah ataupun membalas datar kayak biasanya. Tapi ternyata, dia jusrtru bertanya khawatir mengira gue sakit karena memakai selimut sampai ke kepala. Ck, dia nggak tau sih se-dingin apa disisni.

Gue mengajak dia basa-basi beberapa saat, sampai kemudian sepertinya dia menyadari kalau gue ingin bicara serius dengan dia. "Sky kenapa nelfon Sea?"

"Pengin tanya aja, mimpi Sea, apa kabar?" tanya gue.

Dream, Or You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang