Part 12

7 5 0
                                    

*Alera Sea Madzhiaz

"Maaf… kak. Naskah gue baru selesai," gue menatap cemas Kak Bumi yang sekarang duduk di depan gue, di depan dua cangkir matcha hangat yang dia pesan sepuluh menit yang lalu. Hari ini dia mengajak gue untuk meet di kedai minuman dekat rumah gue. Lebih tepatnya meminta, karena dia gak menerima penolakan, apapun.

Gue sedikit menyesal dalam hati karena udah mengabaikannya beberapa hari belakangan, lebih mementingkan Sky. Karena sekarang dia menatap gue dengan… cela? Seperti gak suka, banget. Ah dia tepatnya kecewa. Iya, kecewa karena gue telat banget kirim naskahnya. Naskah gue baru selesai tadi malem dan baru berhasil gue kirim siang ini.

"Udah gak penting," katanya pelan.
Gue tercengang. Apa…ini? Maksudnya? Gue mengernyit menuntut penjelasan.
"Iya, gue udah gak butuh naskah itu. Project kita udah up."

"Hah?!" gue spontan menegakkan tubuh. Maksudnya? Apa…
"Ke– kenapa…?" tanya gue sedikit terbata. Berharap apa yang gue dengar tadi cuma typo, cuma salah ngomong. Tapi…balasnya…

"Penerbit gak terima naskah yang dikirim mepet deadline. Dia gak terima penulis yang gak tepat waktu, gak serius, gak konsisten. Dia batalin project kita," katanya panjang, jelas, dan cukup membuat kerongkongan gue terasa kering.
.
.
Apa ini?
Projek kita gagal? Jantung gue mulai berdetak abnormal. Dan itu…

"Gara-gara lo, Sea. Gara-gara lo kirim naskah gak tepat waktu. Gara-gara lo udah mengabaikan waktu berharga kita. Lo lebih mementingkan pacar lo itu daripada projek kita, mimpi kita, mimpi lo sendiri."
.
.
"Lo hancurin semuanya… Sea. Lo rusak semuanya. Lo yang membuat projek ini gagal, lo membuat mimpi lo sendiri terjatuh, lo juga buat mimpi gue juga terjatuh."
.
Pelan, tapi jelas.
Pelan, tapi tegas.
.
Gue menatapnya tanpa kedip, mencari kebohongan di matanya yang tapi gue gak menemukan. Gak ada secuil pun kebohongan. Ya Tuhan… apa ini?
.
Dia bicara apa adanya. Kak Bumi gak lagi bercanda.
.
.
Gue… bener mimpi gue udah gue jatuhkan? Sendiri…?
.
Kak Bumi menatap gue dengan sorot kecewa… sangat. Terlihat jelas dia seperti kehilangan asa nya, kehilangan harapannya. Dan itu membuat gue… sesak.
"Gue kira lo serius… Sea. Gue kira lo bisa gue ajak buat berjuang bersama. Gue kira lo seperti gue, yang sangat ingin projek ini berhasil. Tapi nyatanya… enggak. Lo gak serius. Lo gak kayak gue. Lo gak memperjuangkan mimpi lo sungguh-sungguh."

"Lo lebih mementingkan orang yang mungkin aja gak mementingkan lo, daripada mimpi lo sendiri."

"Lo bullshit, Sea."

"Harapan lo cuma omong kosong."

"Harapan yang lo bangun bersama gue semata-mata cuma buat lo abaikan."

"Lo pengecut Sea."

"Lo– arghh."

Kak Bumi meraupkan tangannya kasar ke wajahnya. Lalu menarik rambutnya seperti orang yang frustasi.
.
.
Gara-gara… gue?
.
Gue gak bisa buat nahan air mata. Pipi gue basah sekarang. Dada gue sesak, seolah oksigen di sekitar gue mulai terkikis terbawa amarahnya.
.
.
"Argh Sea, kenapa lo seceroboh ini…?"
"Gue tanya sama lo Sea…" Kak Bumi mengajak gue bicara lagi. Kali ini dengan tatapan sedih.
"Sebenarnya hidup lo buat siapa si?"
.
"Lo… atau dia…?"
.
"Mana yang lebih lo perjuangin…?"
.
"Mimpi… atau dia?"
.
.
Deg
.
Mimpi… atau dia?
Gue gak bisa menjawabnya. Bahkan untuk sekedar menggelengkan kepala gue gak bisa. Gue lemah.

Arrghh… ini terlalu cepat. Ini terlalu gak mungkin. Ini terlalu di luar dugaan gue. Ini terlalu— gak gue percaya. Ril. Ini kaya drama. Ini mimpi, ini bukan kenyataan.

"Kalau akhirnya kaya gini, mendingan kemarin gue cari penulis lain aja. Gue gak usah pilih lo buat jadi partner gue. Gue gak usah susah payah meyakinkan lo bahwa lo akan mencapai mimpi lo bersama gue."
.
.
Sakit. Banget.
Hati gue serasa diremas-remas hanya dengan penuturannya. Dada gue serasa dicambuk. Nadi gue dicabik-cabik.
.
Harapan yang udah kita bangun tinggi, mimpi yang udah kuta lambungkan setinggi-tingginya, ekspektasi yang udah kita rangkai…
Jatuh.
Tertumpas.
Patah.
Terbelaikan.
Gue gak ingin ini terjadi. Sama sekali gak berharap kalau akhirnya bakal kaya gini. Gue gak pernah bayangin. Gak pernah pikirin. Tapi… beginilah. Dan gue gak tau harus gimana.
.
Sea ceroboh. Sea tolol. Sea bodoh. Sea–
Cukup Sea. Lo emang salah. Lo jelas yang salah. Gak usah diperjelas lagi, dunia udah tau lo pelaku dari kegagalan ini.
.
.
Gue menghirup napas kuat-kuat. Menenangkan pikiran yang justru tambah berlarian kesana kemari. Memori-memori saat pertama kali menyusun projek, terputar cepat di otak gue seperti kaset rusak yang gambarnya bintik-bintik dan hitam putih.
.
.
Arrghh… Sea. Kenapa bisa lo merusaknya? Lo buat mimpi lo terjatuh. Lo buat mimpi orang lain juga jatuh.
.
.
Apa yang lo pikirin sampai lo lupain doir lo sendiri?
.
"Gue pamit."
Kak Bumi bangkit dari duduknya. Gue gak sempat mencegah dia karena dia bergerak cepat. Bahkan mungkin tanpa ingin menatap gue. Terlihat jelas dia sama sekali gak melirik gue sedikitpun, setelah kalimat terakhir yang diucapkannya. Dia udah terlalu kecewa dan muak sama gue. Iya, Sea memuakkan.
.
.
Gue menutupkan tangan ke wajah, menimbun kesedihan yang meronta-ronta. Air mata gue mengalir deras. Jatuh berkali-kali tanpa henti. Sebisa mungkin gue nahan isakan. Karena ini tempat umum, dan gue sendirian.
.
Gue gak bisa buat gak menangis kaya gini. Gue gak bisa buat gak merasa tersakiti. Gue gak bisa buat gak merasa diri gue yang salah.
.
Gue salah.
.
Gue membuat semuanya hancur.
.
Gue sendiri yang bikin mimpi gue berantakan.
.
Hiks.
Pikiran buruk terus menyerbu gue. Seolah iblis-iblis jahat senang akan kegagalan gue. Mereka memaki gue, menertawai gue tanpa baik rasa.
.
.
Hiks. Sea sendirian.
.
Kemarin di saat Sky terjatuh, gue selalu ada buat dia, sampai gue lupain projek gue– yang sekarang jadi gagal. Gue buat dia tertawa dan mau bangkit lagi. Gue menemaninya kapan pun dia membutuhkan gue.
.
Iya, sepenting itu dia buat gue.
.
Sekarang… gue yang terluka. Gue yahng terjatuh. Mimpi gue turut tersendat.
.
Sekarang di saat gue yang tertatih… apa dia akan datang seperti yang gue lakukan ke dia kemarin? Apa dia akan memeluk gue, memberi gue penenangan seperti gue—
"Sea…?"
Hppp
Gue menghapus kasar air mata gue, mendongak ke atas dan menemukan seseorang yang barusaja gue bicarakan dalam hati. Sky. Dia datang.

Jantung gue berlompatan, kaget. Baru saja gue menyebutnya dalam hati, dan dia ada di depan gue sekarang? Dia hadir saat gue terluka? Dia hadir untuk beri gue penenangan?

"Sea kenapa? Lagi ngapain di sini sendirian?"

Gue bergegas membersihkan muka dengan jari-jari gue. Gak ingin terlihat habis menangis walaupun kenyataannya pasti masih tetep aja kentara.
"Gak papa kok, Sky. Sea ke toilet dulu ya? Sky duduk dulu."
Gue bergegas beranjak pergi, membiarkannya duduk di tempat Kak Bumi duduk tadi.
.
.
Haahhh.
Gue perlu air. Gue perlu meraupkan air ke muka sebanyak-banyaknya.
.
Butuh waktu sepuluh menit buat gue kembali. Dan saat gue berjalan mendekatinya… saat gue hendak kembali ke kursi gue lagi… Sku… dia sedang membaca tulisan gue, menghadap tenang di depan laptop gue… dia baca naskah yang udah gak berguna itu.
"Sky?"

Sky mendongak, memandang gue. Dia tersenyum kecil sebelum lalu bersiap buka suara. Tunggu. Tatapannya… getir?
.
Iya. Dia memandang gue getir dengan raut sedikit kecewa. Astaga… gue salah, lagi. Sekarang gue tau kenapa dia begitu. Gue bikin kesalahan lagi. Gue buat dia tau semuanya, tentang Bumi dan Sea.
.
Jantung gue berdegup tak berirama banget. Berdentuman kaya di dugem malem minggu.
"Itu cuma projek… Sky," lirih gue, yang semoga membuatnya mengerti.
Jujur gue takut parah.
Takut dia marah.
Takut dia bakal patah. Karena tulisan yang telah dibacanya adalah bagian yang menceritakan Bumi membutuhkan Sea dan Sea selalu bersama Bumi. Sea dan Bumi selalu bersama.

Sky cuma mengangguk kecil.
"Bagus kok Sea, cocok."

Deg. Gue mengerjap beberapa kali.
"Tapi itu udah—"

"Pulang aja yuk, Sea, mendung banget. Bentar lagi pasti hujan," katanya sembari bangkit dari duduk.

Gue hendak mengiyakannya tapi dia lebih dulu pergi, beranjak duluan. Tanpa gue dalam rangkulannya. Aargh… apa lagi ini?

Gue cepat-cepat mematikan laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu melangkah pergi, menyusulnya, meninggalkan dua matcha hangat yang mungkin sekarang udah dingin.

Sky, dia jauh di depan gue. Pikiran buruk menyerbu gue lagi. Kali ini tentang… mimpi gue sudah hilang, dan sekarang apakah Sky juga akan hilang?
.
.
Enggak…
Sky gak akan pergi, cuma gara-gara ini. Iya, dia cuma lagi buru-buru. Pikir aja gitu, Sea. Ayo Sea berpikir positif.
.
Haahh
.

***



TBC 💐💐💐
See u next part guuyysss

_DINTA_

Dream, Or You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang