Part 10

10 6 0
                                    

*Alera Sea Madhiaz

"Allah sudah rindu papa... Sky, Dia sayang papa Sky..." entah sudah ke berapa kalinya kalimat itu terlontar dari bibir gue. Entah sudah ke berapa kalinya juga gue harus menguatkan diri supaya gue nggak ikut runtuh, supaya gue gak mengeluarkan air mata sedikitpun. Karena sejatinya berdirinya gue di sini... adanya gue di sini... hadirnya gue di sini... adalah untuk menguatkan Sky. Adalah untuk membuatnya bertahan. Adalah untuk membuatnya mengerti bahwa dia masih bisa berdiri, walau sudah kehilangan satu sayap penopangnya.

"Sea tau... Sky kuat."
Dia masih berada dalam dekapan gue, dekapan tulus pertama kalinya yang gue beri buat dia. Kini gue memberinya tanpa dia meminta.

"Ketakutan Sky... terjadi hari ini, Sea... satu dari mereka pergi, bahkan sebelum Sky pergi untuk mimpi Sky," pelannya dengan suara serak. Hati gue ikut bergetar mendengarnya. Untuk kali ini gue gak perlu menyanggah. Biarkan dia mengekuarkan semua perasaannya. Biarkan dia meluruhkan apapun yang dia rasakan. Gue akan tampung, apapun itu. Gue diam dengan kedua tangan yang masih erat melingkari punggungnya, bersiap mendengar apapun yang akan dia katakan. Tapii, bukan perkataan yang gue dengar. Hanya deru napasnya yang mulai terkontrol dan isakan yang mulai mereda.

Dia gak bicara apa-apa lagi. Hm mungkin cukup sampai tadi aja.
"I will listen all you said, Sky. I stay in here. Sea never going. Jangan segan berbagi sama Sea, Sky."

Gue bisa merasakan kalau dia mengangguk. "Ayo Sky istirahat, ya? Sea antar ke kamar ya?" bujuk gue setelahnya. Gimanapun, kita gak boleh larut dalam kesedihan sampai melupakan diri kita sendiri kan? Gue memapahnya ke kamar. Hendak ikut masuk saat knop pintu dibuka, tapi dering ponsel gue mencegahnya.
Ah... gue lupa. Itu pasti dari Kak Bumi. Gue punya janji sama dia sore ini!

"Angkat aja, Sea... Sky masuk," katanya saat melihat ke'nggak enakan' gue. Dan gue menurut. Sky masuk kamar, gue menjauh ke bawah jendela ruang tengah.

"Hei Sea! Lo dimana dah gue udah-"

"Sorry kak gue gak bisa dateng. Ada sesuatu yang terjadi tiba-tiba... maaf banget ya...kak. Nanti malem gue kirim ide gue, kalau sempet."

"Yah, padahal... ya udah deh gapapa. Fighting ya!"

Bip. Gue matikan dengan sepihak.
Haahh
Menghela napas panjang, lalu duduk di sofa. Membiarkan memori gue berkelana sepuasnya. Tentang papa Sky, yang udah gue anggap seperti papa gue sendiri, sekarang udah gak akan gue liat lagi keberadaannya di rumah ini. Terakhir kali gue ke sini, saat masih ada papa Sky, saat bolos sekolah waktu itu. Gue dan beliau duduk di sofa ini, main catur lalu berakhir gue kalah, dan akhirnya kita tertawa bersama. Gak nyangka, tawa itu, tawa hari itu, jadi tawa terakhir yang gue dengar saat bersama gue. Dunia sesingkat itu ya.

"Sea, lo belum pulang?"

Gue mendongak, mendapati Bang Rion dengan mata sembabnya. Gue menggeleng pelan. Untuk beberapa jam ke depan mungkin gue tetap berada di sini.
"Sea udah janji buat tetep di sini, Bang," balas gue sedikit tersenyum. Dia hanya mengangguk lalu pamit buat bersih-bersih. Gue kembali sendiri, berkelana dengan pikiran gue. Tentang mimpi gue, yang mungkin harus berhenti sejenak. Gue gak mungkin egois dengan meninggalkan Sky yang sedang membutuhkan gue demi bertemu Kak Bumi buat bicarain mimpi kita, project kita. Ah... pikiran penulis emang kadang suka berlebihan. Mimpi gue gak akan terhenti kok. Projects gue gak akan gagal cuma gara-gara ini. Ya...gitu. Ah mungkin lebih baik gue tidur aja kali ya, sebelum pikiran-pikiran buruk menyerbu otak gue.

Iya bener gue harus tidur. Hoaahmm.

Semesta pasti baik sama gue.

***

Gue menatap miris layar laptop yang menampilkan word dengan halaman kosong dan kursor yang mengedip-edip di tengah nya. Akhir-akhir ini gue lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Sky buat menghibur dia. Dan gue jadi sedikit mengabaikan project gue dengan Kak Bumi. Hhhh, sori kak. Sky is mine, and he's more need my take care. Ya...begitu.

Dream, Or You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang