I. Chapter 4(1) : Sosok Nenek Teratai

50 5 0
                                    


Dengan hati riang, Bai Lianhua segera pergi ke pondok Nenek Teratai yang berada beberapa kilometer dari tengah kampung Shanyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan hati riang, Bai Lianhua segera pergi ke pondok Nenek Teratai yang berada beberapa kilometer dari tengah kampung Shanyi. Tanpa tahu menahu masalah ayah ibunya di rumah. Nenek Teratai tidak pernah menunjukkan dirinya pada siapapun. Selama ini wanita tua itu hanya tinggal menyepi di hutan dekat rawa di luar kampung. Bai Lianhua sudah terbiasa setiap hari ke sana. Walaupun jalanan sudah gelap, ia sudah hapal rutenya. Hutan rawa itu juga tidak terlalu jauh dari kampung.

Beberapa menit berjalan kaki, suasana kampung yang tenang lambat laun menghilang dan digantikan dengan suara binatang-binatang malam. Di sekitar hutan, dekat tebing pegunungan Zainan yang terkenal megah, ada hutan tipis yang menyebar sampai ke dinding tebing. Bai Lianhua masuk ke dalam hutan, membiarkan cahaya bulan kebiruan menerangi langkahnya. Setelah masuk beberapa langkah, ia melihat rawa yang airnya berwarna hitam. Ada jembatan kayu kecil di pinggir pondok. Bai Lianhua memanggil nenek teratai dengan nada ringan.

"Nenek! Aku membawakan makan malam enak hari ini—"

Bai Lianhua mendorong pintu pondok. Ia menemukan nenek teratai sedang duduk memperhatikan sesuatu di tangannya.

"Nek? Kau sedang apa?"

Pondok kecil nenek teratai hanya diterangi dua obor besar. Satu di bagian depan dan satu di dalam. Ada lilin kecil teronggok di ujung meja. Segala yang ada di dalam pondok hanyalah barang-barang usang. Nenek teratai hidup miskin. Setiap hari hanya makan daging kodok atau kadang-kadang memancing ikan. Kalau Bai Lianhua sedang ingin memaksa, ia akan membawakan makanan setiap hari. Tapi kalau Nenek Teratai sedang tidak mau dipaksa, dia akan marah dan menyuruh Bai Lianhua pulang. Nenek Teratai punya temperamen yang buruk. Dia tidak suka diperlakukan baik. Katanya ia tidak mau merepotkan siapapun. Padahal Bai Lianhua sama sekali tidak repot kalau setiap hari harus membawakannya makanan. Justru ia senang, dengan begitu, ia bisa membayar setiap ajaran yang ia terima dari gurunya itu.

Ternyata Nenek Teratai sedang memegang sebuah giok putih berbentuk bunga lotus putih. Di ujungnya ada gantungan perak. Giok itu nampak cantik sampai Bai Lianhua sedikit terpesona.

"Nenek itu apa?"

Waktu Bai Lianhua mau memegangnya, tangannya dipukul oleh nenek teratai dan ia kembali memasukkan giok itu ke dalam kotak kuno yang sama usangnya dengan barang-barang lain.

"Ayo kita latihan lagi."

"Eh, nenek sudah makan? Jangan bilang kau makan daging kodok lagi hari ini."

Nenek teratai menoleh sedikit menunduk, ia mengamati kotak makanan yang dipegang gadis kecil itu. "Hm, letakkan saja di meja. Sekarang, ayo kita latihan."

Sambil berjalan ke luar pondok, di dekat rawa ada tanah lebar yang sedikit menaik. Posisinya dekat dengan tebing berlumut. Pohon-pohon tinggi di sekitar sini cukup lebat. Agak menghalangi cahaya bulan. Tapi Bai Lianhua sudah terbiasa berlatih di malam hari ini. Suara-suara kodok yang berkecipak di pinggir rawa sesekali terdengar.

Pendekar Lotus PutihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang