Tiga tahun setelah Bai Lianhua membawa kembali Bai Junhui ke kampung Shanyi, baru akhir-akhir ini ia bisa merasakan ayahnya benar-benar kembali seperti dulu. Walau jiwanya sesekali tertinggal di Istana Kota, kadang-kadang juga dia masih bergumam saat melukis hal-hal berbau Gao Renwei, tapi Bai Lianhua sudah mulai paham sedikit demi sedikit cara ayahnya mengikhlaskan kebodohan sekaligus patah hatinya. Sesekali Bai Lianhua bertanya kepada nenek teratai tentang cinta dan kenapa manusia bisa takluk pada hal seperti itu, tapi kemudian nenek teratai hanya tertawa dan bilang, "hanya kau yang nampaknya terlalu pintar untuk dibodohi sesuatu bernama cinta. Kau sangat berambisi, tapi sesekali kau juga naif. Rasa kecewa akibat ditinggal ayahmu dulu membuat benteng pertahanan yang tinggi pada ekspektasimu sendiri. Membuatmu lebih fokus untuk menjaga dan melindungi orang-orang dari perasaan yang mungkin saja bisa mereka alami seperti yang kau alami juga. Itu sebuah kebajikan yang bisa membuat sesat, Lianhua."
Kebajikan yang membuat sesat. Bahkan sampai sekarang, ketika ia menginjak umur 21 tahun, Bai Lianhua tidak pernah paham kata-kata gurunya. Setiap hari hari Bai Lianhua berlatih di Sekte Bai. Sesekali mendengarkan kisah lawas tentang pendekar-pendekar yang dulu ramai dan saling berduel di bukit-bukit dan pantai. Waktu nenek teratai masih kecil, para leluhur bercerita kalau di pantai kota Yu Meng dulu, ada banyak sekali perayaan menyambut keturunan Pendekar Penyu Samudera. Sebagai salah satu dari tiga dewa langit dalam legenda dan sejarah, para pendekar sangat menghormati dan menyembah mereka. Menjaga kultur dan bela diri di setiap sekte.
Tapi setelah pembakaran pendekar massal dan pemusnahan itu, keluarga nenek teratai terpecah belah dan semua sekte hilang dalam beberapa waktu. Cerita-cerita itu juga yang tumbuh bersama perasaan-perasaan yang Bai Lianhua simpan sejak kecil.
Setelah dua hari Bai Lianhua mencari Nenek Teratai dan mengalahkan satu prajurit Organisasi Pendekar, ia tidak berani kembali ke Sekte Bai karena takut malah kakak seperguruannya terkena imbas dari mereka. Sialnya, Bai Lianhua belum bisa menerima kenyataan kalau Putri Mahkota adalah Bai Naxing.
Bagaimana bisa? Apa yang Gao Renwei lakukan? Tipu muslihat apa yang ia lakukan untuk memperdaya sang kaisar agung Li Jianlong?
Beban pikiran itu membuat Bai Lianhua tidak sering bicara lagi. Ia tertekan tapi di satu sisi ia ingin bergerak mencari tahu di mana Nenek Teratai berada. Apa malam itu mereka tahu kalau Bai Lianhua bakal mengunjungi Nenek Teratai di pondok? Kalau begitu, apakah selama ini ada orang dari Organisasi Pendekar yang mengintainya? Tapi sejak kapan?
Bai Lianhua bukannya takut akan dibakar atau dibunuh seperti reputasi turun temurun yang sudah dijelaskan oleh para kakak seperguruan di sekte. Tapi justru Bai Lianhua ingin mencoba sekuat apa Organisasi Pendekar itu? Walau dua hari yang lalu ia berhasil membunuh satu anggotanya, Bai Lianhua yakin kalau mereka pasti mengutus satu orang lagi untuk mengintainya sekarang. Mereka akan membaca pikiran Bai Lianhua untuk memutuskan pilihan.
Menyelamatkan Nenek Teratai, atau kembali ke sekte dan memberitahu berita besar ini?
Sayangnya sampai sekarang Bai Lianhua belum memutuskan apa-apa karena dua-duanya sangat riskan. Bai Lianhua ingin mencari Nenek Teratai, tapi ia selalu mencamkan kata-kata gurunya itu bahwa kekuatan Organisasi Pendekar sangat berbahaya. Mereka bisa melumpuhkan tenaga dalam seperti apa yang pernah dialami Nenek Teratai sendiri. Selain itu, karena dilindungi kekuatan pusaka juga, Bai Lianhua tidak tahu apakah dia sudah cukup kuat untuk melawan mereka semua. Sementara memberitahu masalah ini ke Sekte Bai malah membuat semuanya makin kacau. Bai Lianhua tidak bisa membiarkan Sekte Bai dibantai oleh Organisasi Pendekar. Kalau dia pulang, itu cukup membuktikan kalau semua sekte selama ini hanya berpura-pura mengajarkan bela diri sederhana dan diam-diam mengajari tenaga dalam.
Langit di atas kepala lambat laun berubah oranye. Petang sudah membayang, burung-burung pulang ke rumah. Bai Lianhua sudah hampir tiga jam duduk di pinggir jembatan samping sungai dekat tebing Pegunungan Zainan. Andai ia bisa melemparkan semua isi pikiran seperti ringannya air yang mengalir. Sayangnya ia tidak bisa. Gelisah tumbuh semakin besar dalam hatinya, kekhawatiran mengakar dan ketakutan akan Nenek Teratai yang bakal dibunuh semakin membuat dirinya terjebak.
Bai Lianhua berjalan pulang ke rumah dengan lesu. Selama perjalanan pulang itu, ia memikirkan Nenek Teratai. Ia teringat suatu waktu di sore hari. Duduk di atas batu kering, Nenek Teratai menatap ke langit. Pohon-pohon di sekitar rawa berdiri jarang-jarang. Membuat langit cerah di atasnya masih bisa terlihat. Permukaan air mendayung tenang. Sesekali suara burung kecil dan kodok mengisi ketenangan rawa.
"Ibumu sedang menanggung begitu banyak beban dan kesalahan. Hatinya bercabang. Ada penyesalan, rasa cinta yang mendalam, sekaligus kekecewaan. Sekali melihatnya saja aku sudah bisa membaca itu. Tapi... aku harap kau bisa menjaganya. Aku malah takut Yao Yupan terkena imbasnya."
Ibu Bai Lianhua. Walaupun Yao Yupan sekarang sudah sibuk mengurus toko kudapannya, kadang-kadang perhatian Yao Yupan masih sering ditunjukkan pada Bai Junhui. Kadang-kadang juga, kalau Yao Yupan lagi sadar, dia hanya akan menanyakan apakah Bai Junhui sudah makan atau belum. Selebihnya, Yao Yupan akan sibuk di dapur mengolah kudapan atau merancang keranjang untuk kudapan.
Pernah sekali Bai Junhui ingin membantu Yao Yupan melukis keranjang untuk kudapan supaya bisa dijual dengan harga yang mahal dan persediaan terbatas, tapi Yao Yupan harus sesekali pergi ke toilet untuk menyeka air mata dan menahan dirinya yang suka tiba-tiba teringat soal hubungannya dulu. Mungkin menyayangi kenapa suaminya harus berubah sedemikian menyedihkan.
"Aku bisa mengurusnya, nek. Kau tenang saja. Ayah juga sudah mengakui semua kesalahannya dan ibuku memaafkannya. Sekarang mereka sudah seperti dua orang yang saling menyayangi dalam diam. Bagiku melihat mereka bersama kembali, itu sudah cukup. Apalagi tidak ada Gao Renwei si jalang iblis itu."
Kalau dipikir-pikir lagi, betapa Bai Lianhua merindukan hari-hari bersama gurunya itu.
Ketika ia sampai di rumah, Bai Lianhua melihat sebuah kereta kuda besar berhenti di depan kediamannya. Beberapa pengawal berdiri di depan pintu rumah seolah sedang menjaga sesuatu. Terang saja Bai Lianhua bingung. Begitu ia ingin masuk, seorang penjaga menahan Bai Lianhua.
"Siapa kau?" serunya tegas.
Bai Lianhua mengernyit dan menepis tajam petugas itu. "Minggir, ini rumahku!" ketika ia berkata begitu, ujung tombak petugas itu terayun dan hendak menusuk wajah Bai Lianhua. Bai Lianhua terkejut, ia salto ke belakang dengan gerak cepat. Dengan ayunan tangan yang ringan, dia mengeluarkan tenaga dalam dan mengalirkannya lewat dua jari menggunakan jurus Belati Jari. Sambil melatihnya. Ketika ia menebas tenaga dalam melalui dua jari, angin menghunus tajam, mengiringi hempasan kuat yang membuat tombak di tangan penjaga terlempar dan beberapa penjaga lain seketika berdatangan.
Karena keributan itu, dari dalam rumah terdengar suara yang tidak asing. "Jangan menyerang!"
Suaranya mirip sekali dengan Gao Renwei. Bai Lianhua terkesiap, ia berjalan masuk ke dalam dan di depan pintu, berdiri seorang wanita cantik—tingginya nyaris menyamai Bai Lianhua. Menoleh dengan senyum apik. Bajunya terbuat dari sutra lembut berwarna merah dengan pinggiran jahitan berwarna emas. Gaunnya menyeret lantai. Rambut panjang indahnya digelung ke atas dan diikat menggunakan tiara emas. Wajahnya dirias cantik dan nyaris membuat mulut Bai Lianhua terbuka.
"Bai Naxing?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar Lotus Putih
Fantasy(prequel Pendekar Naga dan Tuan Putri) Completed - Bai Lianhua, atau orang-orang mengenalnya sebagai Hei Lianhua; Wanita Lotus Hitam yang kejam dan dingin. Ia menebar teror dengan membunuh semua para pejabat dan petinggi negara yang bertindak semaun...