Bagian 9

176 16 0
                                    

Semalaman aku tidak bisa tidur bahkan pada pukul tiga dini hari aku kembali melihat foto Albi yang nampak bahagia itu.

Ini artinya kepergianku adalah langkah yang benar, tapi rasa sesak yang kurasakan tak tertahankan.

Albi adalah pria pertama yang membuatku mengerti arti cinta tapi juga pria pertama yang membuatku kecewa.

Karena dunia tak selalu selaras dengan keinginan manusia.

Mataku bengkak karena tidak tidur dan juga karena menangisi Albi.

Sendirian di tempat asing dengan luka yang menganga lebar, tidak punya tempat untuk mengadu hanya ada tempat untuk meratapi segala rasa sakit yang kurasakan.

Kini hanya tangis yang bisa kulakukan, berharap dengan menangis segala rasa sesak yang kurasa sirna.

Kupejamkan mata untuk mengatur napas dan menghentikan tangisku, cukup lama akhirnya tangisku reda.

Jam di atas nakas menunjukkan pukul enam pagi,  masih terlalu pagi untuk berenang, tapi pilihanku hanya itu karena di dalam unit ini tidak tersedia bathtube.

Beruntungnya apartemen ini memiliki fasilitas kolam renang khusus untuk perempuan.

Setelah memastikan wajahku terlihat lebih baik aku turun untuk berenang.

Karena tidak punya swimsuit aku hanya memakai shortpants dan kaos lengan pendek.

Area kolam renang masih sepi, ini adalah Malang, airnya terkenal dingin, tentu saja tidak ada yang mau berenang pagi hari seperti ini.

Tapi karena ini adalah tempat pelarianku agar bisa mengenyahkan pikiran tentang Albi maka kuceburkan diriku begitu saja.

Rasa dingin air kolam menembus hingga tulangku, tapi aku berusaha untuk tidak memerdulikannya dan menyelam lebih dalam.

Kalau dibilang ini adalah self harm mungkin saja, tapi aku tidak peduli. Jika memang dengan melakukan ini perasaanku lebih baik aku tidak keberatan.

Entah berapa lama aku berada di dalam kolam, ketika aku keluar dari kolam jari-jariku terlihat keriput, ditambah angin sepoi-sepoi yang menerpa tubuhku menjadi menggigil.

Segera kubilas tubuhku dan berganti pakaian. Setelah berganti pakaian kumasukkan pakaianku yang sudah basah ke dalam mesin cuci untuk mencucinya.

Sembari menunggu aku mengeringkan rambut dengan hair driyer yang tersedia. Semua peralatan disediakan secara lengkap agar tidak sampai ada air yang membasahi koridor.

tapi setelah rambutku kering tubuhku tetap menggigil,  sehingga kukenakan kembali bathrobe yang kupakai ketika keluar dari unit tadi untuk melapisi kaos oversize sepaha yang kukenakan.

Kupercepat langkahku keluar dari area kolam, sepertinya aku butuh minuman hangat untuk menaikkan suhu tubuhku.

Bruuukk

Karena terburu-buru aku tidak sengaja menabrak bahu seseorang "sori nggak sengaja,"

"Shakayla?"

Aku menoleh dan mendapati sosok yang kukenal "Affan?"

"lo minggat kesini?" mataku membulat mendengar ucapan Affan "lo tahu?"

Affan berdecak, "lo sukses banget bikin mas Albi kelimpungan dan bikin gue dituduh ngumpetin lo,"

"kok bisa? Padahal kita kan udah jaga jarak? Mas Albi sama keluarga gue nggak ada yang tahu kalo kita masih temenan,"

Affan adalah teman SMA yang dulu membawaku ke hotel, dia tidak punya niat jahat Affan hanya takut jika harus mengantarkanku pulang dengan keadaanku yang sudah tidak sadarkan diri karena mabuk.

Sialnya Albi memergokinya dan menuduh Affan yang macam-macam hingga akhirnya Affan pindah sekolah karena keluarganya tidak nyaman dengan intimidasi keluargaku dan keluarga Albi.

Aku sampai minta maaf berkali-kali kepadanya, apa lagi wajahnya dihajar habis-habisan oleh Albi.

"mas Albi nemuin chat kita di hape lo terus nuduh gue yang enggak-enggak, ditonjok lagi muka gue, nih liat," Affan menunjukkan sudut bibirnya yang terluka membuatku meringis.

"sori ya Fan,"

"ck dah lah gue mau telepon mas Albi biar jemput lo kesini," aku menggeleng kuat "jangan Fan, mas Albi sudah bahagia dengan menghilangnya gue,"

"bahagia pala lo? Lo sih nggak lihat betapa kalutnya mas Albi ketika nyariin elo," aku kembali menggeleng "kita cari tempat yang enak buat ngobrol nggak dikoridor begini,"

Akhirnya kami pergi ke coffeshop yang ada di lantai dasar. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Pantas saja coffeshop ini sepi.

Rata-rata penghuni apartemen ini adalaha mahasiswa jadi tidak heran di jam sibuk seperti ini coffeshop ini tampak lengang.

Kami mengambil tempat di sudut, memilih tempat yang benar-benar sepi. "so? Apa yang gue lewatkan? Ini benar-benar lucu Kay,  kalian udah mau nikah dan tiba-tiba lo minggat,  why?"

Kuhembuskan napas berat sebelum menjawab pertanyaan Affan "awalnya gue pikir menikah meskipun hanya dengan cinta sepihak gue akan baik-baik saja, tapi akhirnya gue sadar apa yang dilakukan mas Albi hanya sekedar untuk menjaga gue,"

Napasku mendadak tercekat, lidahku terasa kelu,  sednagkan Affan masih menunggu penjelasanku yang selanjutnya.

"mas Albi punya seseorang yang dicintainya dan itu bukan gue, nggak seharusnya gue egois dan mementingkan diri gue sendiri. Dengan kepergian gue maka mas Albi akan terbebas dari hubungan yang sebenarnya nggak diinginkan olehnya dan dia juga bisa bersanding dengan perempuan yang dicintainya,"

"mas Albi cinta sama elo Kay, lo nggak bisa lihat gimana perhatiannya dia sama elo?"

"pinjem hape lo," Affan berdecak "jangan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan Kay,"

"gue mau tunjukin sesuatu ke elo," Affan menyodorkan ponselnya kepadaku, dengan cepat kubukan media sosialnya dan mencari media sosial milik Stefani.

"bahkan sekarang mas Albi nggak sibuk nyariin gue tapi sibuk liburan dengan perempuan ini di Bali,"

Kusodorkan kembali ponselnya yang kini terpampang foto Albi berdua dengan Stefani.

"dia siapa?"

"mas Albi bilang Stefani adalah teman semasa kuliahnya di London dan lo bisa lihat sendiri sedekat apa mereka,"

Affan sibuk memerhatikan ponselnya "teman model apa yang makan aja di tempat romantis begini?"

"lo bisa menyimpulkan sendiri kan Fan?" Affan mendongak dan menatapku dengan tatapan ragu "tapi reaksi mas Albi pas datengin gue kemarin tuh beneran kayak yang frustrasi gitu Kay,"

"mas Albi sayang sama gue tapi hanya sebatas sayang seorang kakak kepada adiknya, bukan sayang seorang laki-laki kepada seorang perempuan,"

"terus sampai kapan lo di sini? Sampai mas Albi nikah sama si Stefani ini?" aku mengulum senyum.

"sampai segala rasa sayang dan cinta yang gue punya untuk mas Albi hilang, kota ini adalah kota dimana gue meratapi cinta sepihak gue yang akhirnya harus berhenti dan kandas,"

Affan menatapanku dengan tatapan prihatin "please jangan kasihani gue,"

"muka lo emang nggak pantas untuk dikasihani," Affan mengubah tatapan prihatinnya menjadi tatapan mengejek dan mengerling kepadaku membuatku berdecak kesal.

"eh tapi si Stefani ini cantik banget loh, kalo masih jomlo bolehlah dipepet,"

"sialan lo Fan! Tega banget lo muji-muji dia di depan gue"

"faktanya lo tujuh dia sepuluh,"

"emang beneran cari mati lo ya!"

NIKAH YUK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang