Bagian 20

207 13 2
                                    

"Affan!" Bukannya berhenti laki-laki itu malah mempercepat langkahnya membuatku berlari kecil untuk menyusulnya.

"Fan!" Kutepuk bahunya dari belakang hingga dia menghentikan langkahnya "eh lo Kay," wajahnya nampak cemas seperti hendak menghindariku.

"Lo ngapain coba pake acara sok budeg segala waktu gue panggil?"

"Gue buru-buru Kay mau ada meeting, sori ya," kutahan lengannya "lo pikir gue nggak liat kalo lo baru aja selesai meeting dan gue tadi denger lo mau istirahat, udahlah ngapain juga lo ngehindarin gue? Takut gue nanya-nanya soal kecelakaan waktu itu? Sori gue nggak minat tahu masa lalu kalo itu yang lo takutin,"

"Lo serius?" Aku mengangguk mantap "melipir dulu lah, nggak enak ngobrol sambil berdiri begini," Ajakku.

Akhirnya kami mengambil tempat di bagian outdoor restoran "lo beneran nggak penasaran Kay?"

"Dari pada sakit lagi mending enggak," aku bergidik membayangkan sakit kepala mematikan yang sering kualami beberapa waktu lalu.

"Sakit banget ya Kay?"

"Banget Fan, mending nggak usah inget apa-apa dari pada nahan sakitnya,"

"Shakayla," wajah Affan tiba-tiba saja nampak pias setelah mendengar suara Albi.

"Mas udah selesai meetingnya?" Aku berdiri dan menghampiri Albi tangannya melingkari pinggangku dengan posesif sedangkan aku mengalungkan lengan di lehernya dan kuberikan kecupan kecil di bibirnya.

Rahangnya nampak mengeras dan tidak melepaskan tatapan tajamnya pada Affan.

"Gue permisi dulu deh Kay, mari mas," secepaf kilat Affan menyingkir dari hadapan kami.

Kuraih wajah Albi agar menunduk menatapku "Affan nggak cerita apa-apa kok mas malah dia sebenarnya ngehindarin aku cuma akunya aja yang maksa dia buat ngobrol sebentar,"

"Kamu masih mau ingat penyebab kecelakaan kamu dulu?" Aku menggeleng cepat.

"Nggak mau, udah cukup sakitnya aku nggak mau sakit lagi,"

"Terus ngapain kamu ngejar-ngejar dia?"

"Ya kan aku belum minta maaf soal mas yang mukulin dia,"

"Dia emang pantas untuk dipukul Kay," rahang Albi kembali mengeras dan tatapannya berubah menjadi tatapan marah.

"Shhhh udah dong ah, jangan marah-marah terus mendingan kita pulang aku mau kasih lihat hasil masakan aku,"

"Kamu belajar masak?"

"Heumm, bingung juga ngapain di villa jadi minta tolong sama bibi buat diajarin masak,"

Tatapan Albi berubah melembut "mas sudah bilang kan kalau mas terima kamu apa adanya,"

"Ya tahu tapi aku kan lagi gabut, belanja nggak selera mau berenang anginnya lagi kencang jadi ya coba-coba masak aja,"

Albi mendekatkan wajah kami hingga keningnya menyentuh keningku "love you sayang,"

*****

Albi menatap berbinar piring berisi nasi dan udang krispi yang ada di hadapannya "sebenarnya esensi memasaknya cuma goreng-goreng aja sih mas, bibi udah bersihin udangnya aku cuma bikin adonan tepung dan goreng udangnya.

"Tangan kamu nggak kena minyak panas kan sayang?" Albi mengalihkan tatapannya kemudian memeriksa kedua tanganku.

"Nggak kok mas, lagi pula goreng udang tepung nggak semengerikan kalau goreng ayam yang minyaknya kemana-mana, mas makan gih,"

Aku mengambil tempat di sebelah Albi dan memerhatikannya makan "enak, asinnya juga pas,"

"Jelas pas dong mas itu kan pakai tepung bumbu jadi ngggak nakar-nakar lagi," jawabku sambil terkekeh geli.

"Tapi beneran enak sayang, warnanya bagus rasanya enak, ada kan orang-orang yang baru masak udah tahu pake tepung bumbu masih ditambahin garam dan akhirnya jadi asin banget beda sama kamu,padahal kamu baru belajar,"

"Ya kan aku coba dulu goreng sebiji terus cicipin kalo udah pas ya nggak usah ditambahin garam lagi, habisin gih makanannya habis itu mandi terus temenin aku nonton film,"

"Mau ke bioskop?" Aku menggeleng "nonton di rumah aja mas, eh tapi mas udah beres kan kerjanya hari ini? Apa nanti masih keluar lagi?"

"Kalau hari ini udah beres cuma besok mas harus seharian di kantor, kamu mau ikut ke kantor?"

"Nggak deh mas, aku mau belajar masak lagi sama bibi, gimana kalau siangnya aku bawain makan siang?"

"Boleh, besok kamu langsung ke ruangan mas aja, udah hapal kan?"

"Udah kok mas, ehh iya tadi aku beli pil kontrasepsi mas,"

"Buat apa?"

"Mas dari kemarin kan keluar di dalam terus kalau aku hamil gimana?"

"Yang kemarin bilang nggak apa-apa toh kita mau nikah juga siapa?"

"Aku sih, cuma kalau mama sama papa marah gimana? Terus Mahendra juga, aku nggak mau mas dihajar habis-habisan sama dia,"

"Ya enggak apa-apa udah terlanjur juga kan? Lagi pula mas kan sudah bilang sekali mas nyentuh kamu mas nggak akan bisa berhenti Kay,"

"Apa sama mantan-mantan mas yang lain juga begitu?"

"Mantan apa? Mas nggak pernah pacaran,"

"Ihhh jangan bohoooong, Mahendra aja gonta ganti cewek kayak ganti baju apa lagi mas yang wajahnya lebih cakep pasti mantannya banyak,"

"Dari masih berseragam putih abu-abu mas sudah suka sama kamu Kay jadi mas nggak punya alasan untuk menjalin hubungan dengan perempuan lain,"

"Tapi mas kok nggak pernah ngomong suka sama aku? Malah harus nunggu aku sakit dulu baru ngomong,"

"Yang pertama, dulu kamu itu masih kecil, lalu ketika kamu sudah selesai kuliah sikap kamu perlahan berubah ke mas, memang masih telrihat manja tapi mas sadar kamu seperti menjaga jarak dari mas, dan yang terpikirkan oleh mas adalah kamu sudah punya laki-laki yang kamu cintai,"

"Waktu itu Mahendra bilang mas habis dikenalin cewek sama tante Arum jadi ya aku sadar diri kalau sudah waktunya menyudahi cinta tak berbalas itu, apa lagi selama itu mas juga nggak pernah menunjukkan kasih sayang layaknya seorang laki-laki dewasa melainkan rasa sayang seorang kakak jadi ya dari pada akhirnya makin sakit aku memilih untuk berhenti di sana,"

"Lalu kenapa kamu tiba-tiba ngajakin mas nikah?" Aku mencoba berpikir dan mengingat-ingat.

Beberapa kilasan ingatan muncul di kepalaku membuatku sontak memejamkan mata karena kilasan ingatan tersebut disertai rasa nyeri di kepala.

"Shakayla, sayang, jangan dipaksa, nggak apa-apa kalau kamu nggak ingat," suara Albi terdengar cemas membuatku mencoba untuk tidak memikirkan apa-apa lagi, setelah merasa lebih baik aku membuka mata dan yang pertama kali kulihat adalah wajah khawatir Albi.

"Sakit kepalanya? Kita ke rumah sakit ya?" Aku menggeleng pelan, "mau istirahat aja mas," Albi dengan cepat bangkit lalu meraihku ke dalam gendongannya.

Dia membawaku ke kamar dan menurunkanku di atas ranjang "masih pusing nggak kepalanya?"

"agak berat aja,"

"Yaudah sekarang kamu istirahat ya," Albi menaikkan selimut dan menutupi separuh tubuhku "mas lanjutin makannya aku udah engak apa-apa kok,"

"Mas temani kamu sampai tidur dulu," akhirnya kutepuk pelan sisi ranjang yang masih kosong di sebelahku.

"Naik sini mas," Albi beranjak naik ke atas ranjang lalu berbaring di sebelahku "tidur Kay  mas temani kamu di sini,"

NIKAH YUK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang