Shakayla
Menurut Albi aku sudah berada di rumah sakit selama tiga minggu dan hari ini aku sudah diperbolehkan untuk pulang.
Jujur setelah terbangun di rumah sakit aku tidak pernah menghitung ataupun mengingat hari, rasa pening yang sering kurasakan membuatku tidak bisa memikirkan apapun.
Ketika sesuatu mulai terlintas di pikiranku dan aku mulai berpikir rasa pening akan menyergapku. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak memikirkan apapun.
"Kenapa Kay? Pusing?" Kami baru menaiki pesawat tapi rasa pening mulai menyapaku sepertinya aku sudah terlalu lama tidak berbaring.
"Sandar dulu ya, habis ini kita take off," sebenarnya rasa pening yang kurasakan sudah jauh berkurang hanya saja ketika mulai terasa pening aku seperti tidak sanggup untuk menopang diriku sendiri, semuanya terasa sedikit bergoyang.
Tak lama pesawat yang kami tumpangi akhirnya mengudara sedangkan rasa pening yang kurasakan masih belum hilang juga.
"Sebentar mas bantu supaya kamu bisa rebahan," Albi dengan cekatan mengatur posisi kursiku sehingga kini aku bisa merebahkan tubuhku.
Setelahnya aku hanya bisa memejamkan mata berusaha agar pening yang kurasakan tidak semakin menjadi hingga tanpa sadar aku terlelap.
"Kay, Kayla? Bangun dulu," sayup-sayup aku mendengar suara Albi, ketika aku membuka mata memang Albi yang tengah membangunkanku.
"Bangun dulu, sebentar lagi kita landing,"
Entah karena terkejut dibangunkan dari tidur atau karena apa rasa pening yang kurasakan semakin sakit dari pada sebelum aku tidur tadi.
"Kay?" Albi dengan cemas memegangi bahuku "sakit kepalanya?" Aku mengangguk pelan.
"Tahan sebentar lagi ya,"
Albi bahkan membantuku untuk memasang sabuk pengaman sedangkan aku masih terus memejamkan mata karena pening yang kurasakan membuat semua yang kulihat bergoyang.
Jika tadi hanya rasa pening kini rasa mual juga mulai menderaku, sekuat tenaga aku menahannya hingga pesawat ini landing.
Ketika turun dari pesawat ternyata Albi sudah menyiapkan kursi roda dan yang pertama kali terucap dari bibirku adalah toilet.
Albi segera mengantarkanku ke toilet dia bahkan ikut masuk ke dalam toilet wanita.
Huekkkk
Aku memuntahkan semua yang kumakan tadi pagi, mulutku sampai terasa pahit karena terus muntah.
Sedangkan Albi dengan lembut memijat tengkukku sampai aku selesai memuntahkan segala yang kumakan tadi pagi.
Setelah muntah bukannya membaik tubuhku malah terasa lemas sekali sehingga Albi menggendongku hingga ke mobil.
"Tahan sebentar ya sayang, sebentar lagi kita sampai," kepalaku memang pening sekali tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas kata sayang yang terlontar dari mulut Albi sayangnya aku sudah tidak punya tenaga untuk bertanya kepadanya jadi yang kulakukan hanyalah memejamkan mata.
*****
Aku terbangun di ruangan serba putih dengan bau antiseptik yang menguar, ini jelas bukanlah kamarku.
Bahkan kini sebuah selang infus juga tertanam di punggung tanganku, sepertinya aku berada di rumah sakit lagi.
"Sudah bangun?" Rupanya Albi juga ada di kamar ini, "sebentar, mas panggilkan dokternya,"
Seorang dokter berwajah bule masuk ke dalam kamar, dia memeriksaku sejenak lalu menanyakan beberapa hal yang kujawab dengan lemas.
Selesai menanyaiku dokter bule itu berbicara dengan Albi sejenak lalu keluar dari kamar.
"Mas, ini dimana?"
"Di rumah sakit, kamu di sini dulu satu minggu setelah itu pulang,"
"Aku nggak pernah tahu ada dokter bule di rumah sakit Jakarta,"
"Ini di Singapura, kamu harus lakukan beberapa pemeriksaan di sini setelah itu kita akan pulang ke Indonesia,"
"Mama sama papa ikut juga?" Albi menggeleng "cuma mas yang temani kamu di sini, kamu mau mas hubungin keluarga kamu untuk nyusul kesini?"
"Nggak usah, aku udah nggak apa-apa kok,"
Well, aku mulai membiasakan memanggil Albi dengan sebutan aku kamu karena papa memgomel kemarin dan memintaku untuk memanggil Albi dengan sebutan yang lebih sopan.
Sebenarnya aku bingung kenapa aku harus mengubah panggilanku segala padahal selama ini papa tidak pernah protes jika aku menggunakan elo gue dengan Albi.
Ah sudahlah aku tidak ingin memikirkan apapun sekarang. Jujur rasa pening yang sering kurasakan sepertinya membuatku sedikit merasa trauma karena rasa sakitnya.
"Sekarang makan ya?"
"Masih mual mas, nanti muntah lagi,"
"Dipaksa ya? Supaya bisa minum obat, nanti sakit kepalanya nggak hilang-hilang," mau tidak mau aku menuruti ucapan Albi.
Suapan pertama mulutku terasa pahit bahkan ketika menelannya rasa mual yang kurasakan semakin menjadi tapi aku berusaha menahannya sampai suapan ketiga tertelan.
Dan setelah itu aku meminta Albi untuk berhenti karena jujur aku sudah tidak sanggup menahan rasa mualnya.
Sembari menunggu rasa mual yang kurasakan mereda aku kembali berbaring sedangkan Albi menyiapkan obat yang harus kuminum.
"Mas sengaja minta mereka untuk menghaluskan obatnya supaya kamu lebih mudah menelannya,"
"Kalau satu ngapain digerus sih mas? Pahit nanti,"
"Sayangnya yang kamu minum lima butir obat jadi opsi terbaik adalah menghaluskannya,"
Setelah di rumah sakit kemarin aku hanya diberi dua macam obat tapi di sini ternyata berbeda.
"Kok banyak?" Nada protes mulai keluar dari mulutku.
"Ini obat untuk syaraf kamu, ada beberapa syaraf yang melemah karena benturan dan juga proses pemulihan kamu yang selama ini lebih banyak berbaring jadi syaraf kamu harus diberi stimulus agar fungsi syarafnya kembali bekerja dengan normal dan sakit kepala kamu juga semakin berkurang,"
Setelah aku tidak mengeluh mual Albi membantuku untuk minum obat yang rasanya sangat pahit itu, aku bahkan sampai terbatuk karena rasa pahit yang begitu kuat menyapa mulut dan lidahku.
"Pelan-pelan minumnya," satu gelas air hampir habis tapi rasa pahit itu masih terasa di dalam mulutku.
"Pahit mas," aku bahkan nyaris menangis karena rasa pahit yang terlalu kuat. Albi dengan cekatan membuka satu bungkus cokelat kemudian menyuapkannya kepadaku.
"Better?" Aku mengangguk ketika rasa pahit mulai tergantikan rasa manis cokelat putih yang kini menempel di seluruh mulutku.
Tapi ketika aku hendak mengambil cokelat itu dari Albi dia malah menjauhkannya "nggak boleh banyak-banyak, ini cuma untuk pengalihan rasa pahit,"
Bibirku mengerucut mendengarnya "sudah sekarang kamu tidur,"
"Dikit lagi dong mas,"
"Jatah minum obat kamu satu hari empat kali dan satu bungkus cokelat ini untuk sehari,"
"Mas pelit ihhh,"
"Kamu kalau udah kena cokelat pasti nggak mau makan, cukup ya? Ganti buah mau?"
"Nggak ah, yaudah aku tidur aja,"
Dengan perasaan dongkol karena tidak dapat cokelat aku kembali berbaring dan memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK?
ChickLitSetelah kupikir berulang kali, penikahan kita tidak akan adil bagi kamu mas. Kita akan terikat dengan pernikahan, tapi kamu menikahiku bukan karena cinta. Pernikahan yang akan kita jalani nanti akhirnya akan menjadi beban untukmu. Kamu harus berpura...