Sembari menunggu Albi yang masih meeting kuamati lenganku yang terlihat memerah di dua bagian, ini adalah kali pertamaku memasak aku tidak bisa membayangkan apa lagi yang akan terjadi ketika aku memasak keesokan harinya.
"tangan kamu kenapa?" Albi masuk ke dalam ruang kerjanya dengan tatapan menelisik ke arah tanganku. Karena kulitku putih meskipun dari jarak yang sedikit jauh sudah terlihat dengan jelas bagian yang memerah.
"ini kena minyak sama panci panas tadi,"
Siang ini aku kembali kekantor Albi dengan membawa masakan yang sudah kubuat tadi, mama memintaku untuk meneruskan masakanku setelah tanganku diobati.
"kamu masak?" Albi duduk disebelahku lalu memperhatikan tanganku dengan seksama "udah diobati?"
"udah, kata mama kena begini pas masak itu hal biasa, padahal sakit loh mas," Albi menghela napas pelan "besok-besok masak yang direbus aja kan banyak tuh iklan bumbu instan di tv, tinggal campurin aja, jangan yang digoreng, bahaya"
"aku mau bumbuin ayam goreng pake bumbu instan aja mama ngomel," dumalku.
"ya pokoknya cari masakan yang direbus atau ditumis aja, jangan digoreng lagi nanti minyaknya kemana-mana,"
"iya nanti aku cari di internet, kamu makan dulu deh mas, kalo nggak enak nanti aku pesanin ke resto,"
Tanganku dengan cekatan mengeluarkan kotak makan dari dalam paperbag, di dalamnya ada nasi dengan lauk ayam goreng beserta tumisan brokoli, jagung muda dan wortel.
Ketika tangan Albi akan menyentuh sendok aku menahannya, "aku beliin aja ya mas? Nggak usah makan yang ini," Albi mengerutkan keningnya "ayamnya normal nggak hangus, tumisannya juga kayaknya enak, kenapa harus pesan di luar?"
"ya kan tampilan nggak selalu selaras dengan rasanya," Albi mengambil sendok yang kupegang dan memotong daging ayam, "coba dulu," Albi baru menyuapkan bagian kecil daging ayam yang diambilnya, keningnya berkerut lalu dengan cepat dia menyendok nasik.
Buru-buru aku mengambil sebotol air dan membukanya sebelum menyodorkan botol itu ke arah Albi, setelah berhasil menelan makanannya Albi mengambil botol air dari tanganku dan meneguknya dengan cepat.
"aku bilang apa, aku pesanin aja ya? Mas mau makan apa?" Albi meletakkan botol air yang sudah tandas setengahnya "nggak perlu, masih bisa dimakan kok cuma sedikit asin aja ayamnya,"
"nanti kalau kamu sakit perut jangan salahin aku loh ya?" Albi mengulas senyum lalu kembali melanjutkan acara makan siangnya, kali ini dia menyuapkan nasi lengkap dengan ayam serta tumisan."
Keningnya kembali berkerut ketika makanan itu ia kunyah " tumis sayurnya agak manis ya?" ucapnya setelah berhasil menelannya.
"iya, karena ayamnya asin banget jadi tumisannya aku manisin dikit biar nggak jomplang, tapi tadi mama dengan seenaknya bilang masakanku keasinan karena aku kebelet kawin padahal kan salah nakar aja, diresepnya untuk satu kilo ayam sedangkan aku tadi cuma pakai setengah kilo,"
Albi tertawa "emang ada istilah begitu dari dulu, lagian sebentar lagi kita juga nikah jadi nggak usah diambil hati," kami mengobrol ringan disela-sela kegiatan makan siang Albi.
Kini kotak bekal yang kubawa hanya tersisa potongan ayam sedangkan nasi beserta tumis sayuran sudah tandas, Albi memakan ayam sedikit demi sedikit karena terlalu asin.
Setelah membereskan kotak makannya Albi memandangku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan "mas ngapain liatin aku begitu?" Albi mengulum senyumnya, tangan besarnya terulur menyentuh puncak kepalaku dan mengusapnya pelan.
"makasih ya sudah mau belajar masak, masakan kamu memang belum sempurna tapi ini sudah lebih dari cukup untuk mas," di wajahnya masih terpatri sebuah senyuman sedangkan tatapannya kepadaku begitu lembut membuatku lidahku kelu, semoga saja pipiku tidak memerah.
"Bi, kita makan siang dulu aja sebelum meeting," pintu ruangan Albi mendadak terbuka disusul dengan suara perempuan membuat Albi menurunkan tangannya dari puncak kepalaku.
"gue udah makan, dimasakin calon istri gue nih," perempuan itu adalah Stefani, tatapannya seperti mengulitiku "kenalin Kay, ini Stefani temen kuliah mas di London dulu,"
Aku berdiri lalu mengulurkan tangan ke arah Stefani "Kayla," Stefani menjabat tanganku dengan lembut tapi tatapannya masih sibuk menilai diriku, akupun juga sibuk menilai perempuan ini dari dekat.
Bentuk wajahnya oval, hidungnya mancung lalu bibir tipisnya dipoles dengan lipstik merah menyala, bukannya terlihat norak tapi perempuan ini terlihat begitu cantik dan sempurna, aku saja yang perempuan mengakui kecantikannya apa lagi kaum adam.
*****
Kebaya berwarna rosegold ini begitu sempurna membalut tubuhku, dipadu padankan dengan make up natural membuatku terlihat cantik.
Aku sengaja meminta sang perias untuk memberikan kesan natural yang sederhana, aku ingin menunjukkan meski dengan riasan tipis aku terlihat cantik, meski jika dibandingkan dengan Stefani aku masih kalah jauh.
"Kay ayo turun Albi sama keluarganya udah sampai," mama membantuku berdiri kemudian menuntunku keluar dari kamar.
Papa tidak mengizinkan acara pertunangan kami digelar di tempat lain karena papa menginginkan siapapun yang meminta puteri semata wayangnya harus di rumah, di tempat puteri semata wayangnya ini lahir dan tumbuh besar.
Albi mengenakan kemeja batik yang motifnya senada dengan rok lilit yang kukenakan. Dia duduk diapit kedua orang tuanya, dari sini aku bisa melihat jika wajahnya terlihat gelisah.
Sesampainya di lantai dasar aku menyalami seluruh keluarga Albi terlebih dahulu sebelum akhirnya duduk dan diapit kedua orang tuaku.
Seorang pemangku adat yang memang sudah dipersiapkan oleh mamaku mulai membuka acaranya. Acara pembukaan dimulai dengan salam dan sambutan, setelahnya beliau mengucapkan beberapa kalimat dengan bahasa Jawa.
Aku yang memang tidak mengerti krama inggil diam saja sampai kemudian orang tua Albi menyatakan kedatangannya untuk melamarku menjadi pendamping puteranya. Kupikir Albi yang akan memintaku secara langsung tapi ternyata tidak.
"saya selaku ayah menyerahkan segala keputusan kepada puteri saya ShakaylaYasawirya, Kayla silahkan dijawab lamaran orang tua Albi,"
Karena terlalu gugup aku tidak bisa menyusun kata-kata hingga akhirnya aku hanya mengucapkan "saya terima,"
Ucapan alhamdulillah sontak bergemuruh.
"untuk mbak Shakayla dan mas Albiansyah dipersilahkan ke depan untuk melakukan prosesi pemasangan cincin pertunangan," ucapan sang pemangku adat membuat Albi berdiri, dia berjalan ke arahku lalu tangannya terulur tepat di depanku.
Kutatap matanya, Albi mengangguk pelan lalu kusambut uluran tangannya, dia menggenggam tanganku begitu lembut. Kami berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut.
"silahkan diambil cincinnya dan disematkan dijari manis tangan kiri mbak Shakayla," pemangku adat membimbing langkah-langkah Albi.
Albi memegang tangan kiriku lalu dengan perlahan dia memasangkan cincin bertahtakan berlian berwarna putih di jari manisku, semua orang bertepuk tangan sambil bersorak ketika Albi sudah menyelesaikan proses pemasangan cincin di jariku.
Seorang fotografer yang tadinya berada di samping panggung mendekat dan berdiri persis di hadapan kami. "mbak Shakayla sama mas Albi posisinya dirapatkan lagi sampai bahunya saling menyentuh,"
Aku dan Albi merapatkan posisi kami sesuai arahan fotografernya, "buket bunganya dipegang pas di depan dada sedangkan posisi lengan kirinya mbak Shakayla memeluk lengan mas Albi dari belakang ke bagian bawah bahu lalu ke atas agar cincinnya terlihat, tangan kiri mas Albi bisa dimasukkan ke dalam saku,"
Tinggal selangkah lagi aku akan hidup dengan bebas dan aku akan menantikan hari itu datang.

KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK?
Literatura FemininaSetelah kupikir berulang kali, penikahan kita tidak akan adil bagi kamu mas. Kita akan terikat dengan pernikahan, tapi kamu menikahiku bukan karena cinta. Pernikahan yang akan kita jalani nanti akhirnya akan menjadi beban untukmu. Kamu harus berpura...