Karena pernikahanku nanti digelar dengan serangkaian upacara adat mau tidak mau aku harus mempersiapkan diri, kebetulan sekali di tv sedang menayangkan rangkaian upacara adat pernikahan anak bungsu presiden.
Selama ini ketika sepupu-sepupuku menikah jarang sekali aku menghadiri setiap tahapan prosesi adat sampai selesai, bahkan terkadang aku mangkir dengan berbagai alasan dan hanya datang ketika resepsi.
"tumben banget lo dari kemarin betah nonton acara begini sampai selesai," Mahendra masuk ke dalam kamar membuat fokusku teralihkan.
"anggap aja persiapan buat nikah nanti, lo tumben jam segini masih ada di rumah?" Mahendra menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.
"lo kenapa sih kak liatin gue begitu? Baru sadar ya kalo adek lo ini cantik?" kukibaskan rambutku membuat Mahendra mendengus.
"lo beneran mau nikah sama Albi?" Mahendra duduk ditepi ranjangku "lo telat banget nanyanya, seharusnya lo nanya begitu sebelum gue sama Albi tunangan,"
"ya siapa tau lo berubah pikiran, lo kan anaknya angin-anginan, pagi bilang A sore bilang B, liat Albi pelukan sama cewek lain aja langsung mau batalin pertunangan," jujur aku ini tipe orang yang melakukan sesuatu sesuai mood, itulah alasanku resign karena aku tidak suka bekerja di bawah tekanan.
"lo tau kan kalo adek lo ini susah dapet pacar? Dari pada gue jadi perawan tua ya iyain aja lamaran Albi," Mahendra berdecak lalu menggeplak kepalaku.
"heh, Albi udah cerita ya semuanya ke gue, lagian gue juga tahu lo kan punya perasaan sama Albi, seneng banget lo pastinya, akhirnya bisa nikah sama cowok pujaan hati lo, tapi apa lo nggak pernah mikirin perasaan Albi? Gimana kalau seandainya dia melakukan ini karena rasa sayang sebagai seorang kakak bukan sebagai pria yang mencintai seorang wanita?"
Ucapan Mahendra tepat menusuk hatiku, "dan kalau seandainya Albi punya seorang perempuan yang amat dicintainya tapi harus ditinggalkan hanya untuk memenuhi keinginan lo dek, apa lo masih bisa bahagia?" Mahendra meneruskan ucapannya.
Lidahku terasa kelu, aku tidak bisa mengatakan sepatah katapun sedangkan pikiranku melayang entah kemana, muncul berbagai potongan puzzle di kepalaku, aku mencoba untuk merangkainya tapi tidak bisa.
"gue tahu lo mau bebas, tapi bahagia di atas penderitaan orang lain itu terlalu egois Kay,"
*****
Ucapan Mahendra tempo hari seperti ujung belati yang menembus tepat di jantungku, Albi menikahiku karena tidak mau aku melakukan hal-hal berbahaya, di sisi lain aku juga mempunyai perasaan terhadap Albi tapi aku lupa jika Albi juga punya perasaan.
Bagaimana jika ternyata dia memiliki kekasih dan menikahiku hanya untuk formalitas belaka? Bagaimana jika dia tetap bersama dengan kekasihnya bahkan setelah pernikahan kami?
Atau setelah pernikahan kami Albi jatuh cinta kepada perempuan lain dan akhirnya berselingkuh, apakah aku masih bisa baik-baik saja?
Tidak, aku tidak mau salah satu dari kesimpulan-kesimpulan yang kubuat menjadi kenyataan.
Tidak seharusnya aku berlaku egois seperti ini, Albi berhak bahagia dengan siapapun itu, bukan dengan aku. Seseorang yang jelas-jelas tidak dicintai Albi. Rasa sayang Albi kepadaku layaknya rasa sayang seorang kakak kepada sang adik.
Dan Albi akan melakukan segala cara agar aku bisa bahagia, meskipun itu mengorbankan dirinya sendiri.
Lo jahat Kay, jahat!
Kuraih kertas dan pena kemudian kutulis dua lembar surat, surat pertama untuk orang tuaku dan surat kedua untuk Albi.
Hanya ada dua pilihan di tanganku, pilihan pertama tetap menikahi Albi dengan segala resikonya dan pilihan kedua adalah melarikan diri dari segalanya, dan aku memilih pilihan yang terakhir, karena hatiku bukanlah batu.

KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK?
Romanzi rosa / ChickLitSetelah kupikir berulang kali, penikahan kita tidak akan adil bagi kamu mas. Kita akan terikat dengan pernikahan, tapi kamu menikahiku bukan karena cinta. Pernikahan yang akan kita jalani nanti akhirnya akan menjadi beban untukmu. Kamu harus berpura...