Bagian 3

190 16 0
                                    

Siang ini mama menyuruhku mengantar makan siang untuk Albi, bukan aku juga yang memasak sebenarnya tapi mama menyuruhku untuk lebih memerhatikan Albi karena kata mama jelang pernikahan kami Albi semakin sibuk dan sering pulang larut malam.

Biasanya setiap datang ke kantor Albi outfit yang kupakai tidak jauh-jauh dari celana, entah celana jeans, celana kain atau bahkan kulot, tapi sekarang mama menyuruhku untuk tampil secantik dan seanggun mungkin dan beginilah akhirnya.

Dengan dress selutut dan juga sepatu berhak 5 sentimeter aku melangkahkan kaki ke dalam kantor Albi yang juga merupakan hotel bintang lima di pusat kota Jakarta.

"Na, pak Albinya ada?" aku menghampiri meja Liliana, sekretaris Albi.

"waduh mbak Kayla telat, pak Albi baru aja pergi sama temannya buat makan siang,"

Kemarin-kemarin aku minta untuk bertemu saja dia tidak mau dengan alasan banyak kerjaan tapi sekarang? Sudahlah sepertinya seorang teman memang lebih berharga dari pernikahan kami.

"yaudah Na, ini buat kamu aja," aku meletakkan tas bekal di atas meja Liliana, "jangan mbak, nanti kalau pak Albi kembali saya kasihkan saja ke beliau," aku mengibaskan tangan di udara.

"halah nggak usah, lagian bukan saya juga yang masak, makan aja," Liliana menatapku dengan pandangan tidak enak.

"temennya cewek Na?" sebenarnya aku iseng saja bertanya seperti ini tapi ternyata jawaban Liliana membuat moodku jauh lebih buruk.

"iya mbak, cantik banget, katanya sih teman pas kuliah di London,"

"namanya siapa?" Albi dan kakakku Mahendra adalah teman sedari kecil bahkan mereka berdua kuliah di kampus yang sama ketika menempuh pendidikan magister di kota London.

"Stefani, ehh jangan bilang mbak Kay lagi cemburu?" aku mendengus, tebakan Liliana benar sekali tapi tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya.

"kurang kerjaan banget Na cemburuin Albi, sudahlah saya pulang dulu,"

*****

Bekas tangkai bunga masih berserakan ketika Albi masuk ke dalam kamarku sedangkan aku masih fokus menatap bunga di dalam vas yang baru saja selesai aku rangkai.

"Hai," aku hanya mengangguk mendengar sapaannya sembari membereskan tangkai bunga, sedangkan Albi mendudukan dirinya di atas sofa, "makasih makan siangnya, masakan kamu enak,"

"yang masak bi Ami, aku cuma nganterin aja, emangnya sejak kapan juga aku bisa masak?"

"ya mungkin aja kamu belajar masak sebelum pernikahan kita," aku berdecak "kita nikah supaya aku bisa bebas loh mas, bukannya jadi pembantu kamu,"

"kamu lupa kalo di keluarga mas setiap istri harus bisa masak?" Aku melotot ke arahnya, kenapa aku bisa lupa soal ini?

"terus gimana dong?" dulu aku pernah tidak sengaja terkena tumpahan air panas ketika membantu mama di dapur dan sejak saat itu aku tidak pernah lagi membantu mama di dapur.

Ponsel Albi berdering membuat Albi yang hendak mengatakan sesuatu mengurungkan niatnya "ya Stef?"

Stef? Stefani yang tadi?

"oke gue kesana sekarang," begitu telepon ditutup Albi berdiri, "mas ada urusan sebentar, mas pergi dulu," Albi mengusap lembut rambutku dan meninggalkan aku begitu saja.

Akhirnya kuputuskan mencari tahu siapa itu Stefani, akun media sosial Albi terbatas hanya untuk kenalan saja sehingga tidak sulit untuk menemukan nama Stefani diantara orang-orang yang media sosialnya diikuti oleh Albi.

Cantik dan berkelas, itulah yang kutemukan dari diri Stefani melalui setiap fotonya dan di sana terdapat foto Albi dan Stefani di sebuah restoran mewah, bertahun-tahun aku mengenal Albi tidak pernah sekalipun dia membawaku makan di temat seperti ini.

Dari sini aku tahu betapa berharganya Stefani ini untuk Albi.

Ketika hendak menutup sosial media milik Stefani sebuah foto baru ditambahkan beberapa detik yang lalu, captionnya tertulis

Thankyou

Foto tersebut diambil di dalam mobil dengan posisi Albi yang sedang menyetir dan menatap lurus ke arah jalanan.

Dengan tangan gemetar kuseka air mata yang entah sejak kapan sudah membasahi kedua pipiku.

Keesokan harinya aku mendapati Albi sedang sarapan bersama kedua orang tuaku "mata kamu kenapa Kay?" mama menyadari mataku yang sembab dan membuat Albi menatapku dalam, aku yang tidak berani untuk menatapnya memilih berpura-pura sibuk mengambil makanan.

"biasa habis nonton drama Korea," aku berusaha terlihat biasa saja.

"kurang-kurangin itu nonton drama Koreanya, sudah mau nikah loh kamu," aku hanya berdeham dan menyibukkan diri dengan makananku, mengabaikan Albi yang kembali sibuk membicarakan soal bisnis dengan papa.

*****

Hari pertunangan kami kurang tiga hari lagi, sore ini dengan diantar bang Andi aku mendatangi butik mami Boh untuk fitting terakhir bersama dengan Albi yang katanya akan menyusul selesai meeting.

Jarum jam tepat menunjuk angka sembilan tetapi Albi belum juga datang sedangkan butik ini akan tutup tiga puluh menit lagi, akhirnya kuputuskan untuk menghubunginya

"ya Kay?"

Keningku berkerut mendengar suara musik yang diputar dengan kencang di seberang sana,

"mas dimana?"

"lagi ada urusan sebentar sama teman, ada yang penting?"

"mas lupa soal fitting baju kita hari ini?"

"sori, mas lupa, diundur besok bisa kan Kay? Ini masih ada yang masih harus mas bahas sama teman mas,"

"oh ya udah, nanti aku bilangin ke mami Boh,"

Begitu sambungan telepon terputus kuhela napas berat, sepertinya semakin dekat pernikahan kami aku jadi lebih sering merasa kecewa dan tentu saja penyebabnya adalah Albi.

Kusadari mami Boh dan beberapa pegawainya bahkan menatapku dengan tatapan iba.

Aku benci dikasihani!

"maaf ya bikin mami jadi nggak bisa ngapa-ngapain gara-gara nungguin mas Albi," mami Boh tersenyum maklum,

"mami enggak apa-apa, cobaan orang mau menikah memang begitu, kamu yang sabar ya,"

Begitu keluar dari butik aku melihat lagi media sosial Stefani benar saja mereka sedang bersama dan Stefani juga menandai lokasinya ini adalah kesempatanku untuk memergoki mereka, aku menyetop taksi di tepi jalan.

Bang Andi tadi memang hanya mengantarkanku saja karena aku mengatakan akan pulang bersama dengan Albi tapi ternyata Albi tidak datang.

Akhirnya aku sampai di sebuah kelab malam ketika hendak turun aku malah mendapati Albi keluar bersama dengan Stefani, terlihat Albi sedang memapah Stefani yang terlihat mabuk, kuturunkan kaca mobil dan merekam mereka berdua.

"pak kita ganti tujuan ke apartemen Sky Castle," begitu mobil berjalan kembali aku sibuk mengumpulkan bukti kebersamaan Albi dan Stefani.

Kakakku Mahendra memiliki sebuah unit di apartemen Sky Castle, aku tidak mungkin pulang dengan keadaan begini maka lebih baik aku menenangkan diri terlebih dahulu.

Apartemen ini tidak menggunakan kunci akses melainkan menggunakan sidik jari jadi aku tidak perlu repot-repot membawa kunci akses, beberapa security juga mengenalku karena aku beberapa kali kesini untuk mendekor ulang unit apartemen kakakku.

Kuhempaskan tubuhku di atas sofa, bisa-bisanya Albi mengajakku menikah sedangkan dia masih punya hubungan dengan wanita lain, seharusnya yang diajak menikah itu Stefani bukan aku.

Sembari menatap laut yang gelap aku memikirkan rangkain kata untuk membatalkan pertunangan kami, aku harus menyudahinya sebelum semuanya terlambat.

Sakit?
Marah?
Kecewa?

Tentu saja, sebagai seorang gadis yang sudah memendam rasa yang begitu lama apa yang terjadi hari ini adalah sebuah pukulan telak untukku.

Akkhirnya aku menuliskan sebuah pesan alasan kenapa aku dan Albi tidak bisa bersama, kukirimkan kepada kedua orang tuaku dan juga orang tua Albi.

'jangan nangis Kay, lo kuat, lo bisa lewatin ini semua'

NIKAH YUK?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang