Seluruh tubuhku terasa kaku bahkan untuk membuka mata rasanya berat sekali.
Terdengar suara-suara yang seperti memanggilku tapi tetap saja mataku tidak bisa terbuka, perlahan kegelapan kembali menghampiri dan merenggut kesadaranku kembali.
Entah berapa lama aku ada di dalam kegelapan ini, sebuah cahaya putih bersinar di ujung kegelapan, dengan langkah perlahan aku melangkah menuju sang cahaya.
Aku tidak bisa melihat apa-apa, ruangan itu begitu terang membuatku mengernyit karena silau.
"Kay, Kayla!" Aku mengerjap pelan, ruang berpendar cahaya putih itu menghilang kini yang kutatap adalah atap putih sebuah ruangan.
"Kay, Kayla!" Sosok pria muncul di hadapanku membuatku mengernyit, kepalaku terasa berdenyut.
"Kay lo dengar gue kan?" Itu suara Affan tapi itu tidak mungkin, kukerjapkan mataku pelan dan ya pria itu memang Affan.
"Tolong minggir sebentar kami harus memeriksa pasien," Affan menyingkir lalu datang beberapa orang berpakaian putih dan mereka mengerubungiku.
"Mbak Kayla, kalau dengar suara saya tolong ikuti arah jari saya," seorang pria berjubah putih mengerakkan jarinya di hadapanku membuatku mengikuti arah gerak jarik tersebut.
"Oke responnya bagus, sekarang tolong gerakkan jari tangan anda," tubuhku terasa sangat kaku sehingga aku harus bersusah payah untuk menggerakkan jariku.
"Oke bagus, sekarang saya akan lakukan pemeriksaan menyeluruh," aku tidak tahu apa yang dilakukannya kepadaku, seluruh tenagaku habis hanya untuk menggerakkan jariku saja, rasa lelah kembali menyelimutiku membuat mataku perlahan tertutup kembali.
*****
Samar-samar suara orang mengobrol terdengar, jika sebelumnya tubuhku hanya terasa kaku kini seluruh tubuhku terasa sakit, aku bahkan merasa tulangku seperti dilolosi."Shakayla, Kay?" Kini suara Albi yang terdengar memanggil namaku. Aku mengerjap pelan.
Kini kesadaranku lebih baik dari sebelumnya, meski aku masih susah untuk menggerakkan tubuhku tapi kini aku bisa melihat dengan lebih jelas.
"Ha.ha.us," bahkan untuk mengucapkan satu katapun sangat sulit tapi untungnya Albi mengerti, dengan cepat dia menaikkan brankarku dan membantuku minum.
"Sudah?" Aku mengangguk dengan sangat pelan karena suluruh tubuhku masih sulit untuk digerakkan.
"Selamat pagi mbak Kayla," terdengar suara pintu terbuka lalu disusul suara dokter yang kemarin.
Ternyata beliau datang untuk memeriksa kondisiku kembali.
Semua itu terus berulang-ulang sampai beberapa hari hingga keadaanku membaik dan bisa berbicara dengan lancar meski tubuhku masih sedikit kaku karena terus berbaring.
Mama dan papa selalu menemaniku bahkan Albipun menemaniku. Apa dia tidak pergi ke kantor? Aku penasaran ingin bertanya tapi mulut dan lidahku masih terasa kaku untuk digunakan berbicara.
"Kay, hari ini kamu mau makan apa? Atau mau makan ini?" Mama menunjukkan nampan berisi makanan dari rumah sakit, isinya sangat tidak menggugah seleraku apa lagi rasanya.
"Lainnya boleh?" Aku bertanya sambil berusaha bangkit dari posisi rebahku.
Mama buru-buru menaikkan posisi brankarku agar aku bisa duduk lebih mudah. "Mau makan apa? Bubur ayam mau?"
"Boleh," mama segera mengambil ponsel dan menghubungi seseorang entah siapa.
Rasa pening mendera bersamaan dengan rasa mual "uggghh," mama yang mendengarnya segera meletakkan ponselnya begitu saja lalu mengambil sebuah wadah.
"Kalau mau muntah jangan ditahan Kay," benar saja dalam hitungan detik aku sudah tidak mampu untuk menahan rasa mual dan akhirnya aku muntah.
Menurut dokter setelah pemeriksaan menyeluruh tempo hari, aku mengalami gegar otak karena benturan yang cukup keras di area kepala.
Dan berefek seperti amnesia, sakit kepala, mual sampai muntah, tapi semua gejala itu akan mereda dengan sendirinya.
Akupun sudah didiagnosa mengalami amnesia karena tidak mengingat apa yang terjadi sebelum aku mengalami kecelakaan, tapi kata dokter amnesia yang kualami bisa jadi hanya bersifat sementara.
Sekarang mama dengan telaten mengurusku yang kini nampak seperti balita sakit.
Ketika mama berada di kamar mandi untuk membereskan sisa muntahanku pintu kamar terbuka.
Dan ternyata Affan yang datang, dengan wajah penuh senyum ia menyapaku.
"pagi Kay, gimana kondisi lo?"
Dia meletakkan sebuah kantong plastik di atas nakas lalu mengambil tempat duduk di samping brankarku.
Aku menatapnya dengan tatapan bingung "muka lo kenapa?"
"Kena bogemnya mas Albi kemarin, besok-besok jangan kabur-kaburan lagi deh Kay. Mas Albi beneran nyeremin kalo lagi marah,"
"Gue kabur sama lo?" Affan menggeleng "lo kabur sendirian ke Malang terus nggak sengaja ketemu gue,"
"Malang? Kota Malang?" Ucapan Affan membuatku mencoba mengingat kembali.
Yang aku ingat terakhir kali adalah saat kabur ke hotel aku tidak sengaja bertemu dengan Albi dan ketika ingin melarikan diri tepat di depan hotel sebuah mobil melaju kencang ke arahku dan "Nnngggghhh,"
Rasa sa pening menjalari kepalaku, sambil menunduk kusentuh kepalaku yang masih dibalut dengan perban sambil meringis kesakitan.
"Kay? Kayla?" Kelibatan ingatan membuat rasa sakit di kepalaku semakin menjadi dan akhirnya kegelapan menghampiriku lagi.
*****
Hari masih terang ketika aku membuka mata, tapi anehnya mama, papa dan Albi menatapku dengan cemas."Pa panggil dokter pa, cepetan," mama menyentuh tanganku "Kay kamu dengar mama kan?" Wajah mama nampak begitu cemas.
Aku menatap bingung mereka sesaat "Aku kenapa ma?" Mama belum sempat menjawab karena dokter langsung masuk ke dalam kamar rawat dan langsung memeriksa kondisiku.
"Apa yang dirasa sekarang? Masih pusing?" Aku mengangguk "sedikit dok,"
"Hari ini saya sudah jadwalkan untuk pemindaian MRI lanjutan, untuk sekarang mbak Kayla bisa sarapan dan minum obatnya dulu, nanti akan ada perawat yang menjemput ketika sudah jadwalnya pemindaian MRI,"
Setelah dokter keluar dari kamar rawatku tatapan mama masih terlihat cemas "Makan ya Kay," bahkan tangan mama terlihat gemetar ketika mengambil mangkuk membuatku menatapnya dengan heran "mama sakit?"
"Mama nggak apa-apa kok Kay, mama cuma khawatir sama kamu, kamu nggak sadarkan diri dari dua hari yang lalu,"
Ucapan papa membuatku terkejut."dua hari yang lalu?" Aku mengerjap pelan, aku bahkan tidak merasa jika aku tidak sadar dalam waktu selama itu.
"Udah jangan mikir apapun, yang paling penting kesehatan kamu sekarang, habis makan minum obat terus istirahat lagi ya sayang,"
Aku mengangguk saja mendengar ucapan papa sedangkan Albi tidak mengatakan sepatah kata pun tapi wajahnya masih menyiratkan kecemasan padahal aku sudah merasa baik-baik saja.
Siang harinya dua orang perawat menjemputku di kamar, karena sudah terbaring berhari-hari di atas ranjang tubuhku masih lemas jika harus turun dari atas ranjang ataupun berjalan seorang diri.
Ketika perawat akan membantuku turun dari ranjang Albi mendahului dan mengangkat tubuhku lalu mendudukkanku di kursi roda.
Baru saja duduk rasa pening disertai mual kembali melandaku, aku memang lebih sering merasakan pusing dan mual ketika kepalaku tidak bersandar apapun.
"Hueeek," seluruh makanan yang tadi kumakan akhirnya kumuntahkan kembali bahkan muntahanku mengenai sepatu dan celana Albi.
Tapi bukannya jijik Albi malah memijat tengkukku dengan perlahan sampai aku merasa lebih baik.
Aku jadi merasa jijik dengan diriku sendiri, seharusnya aku menahannya, apa lagi muntahanku mengenai sepatu dan celana Albi, sangat memalukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH YUK?
ChickLitSetelah kupikir berulang kali, penikahan kita tidak akan adil bagi kamu mas. Kita akan terikat dengan pernikahan, tapi kamu menikahiku bukan karena cinta. Pernikahan yang akan kita jalani nanti akhirnya akan menjadi beban untukmu. Kamu harus berpura...