"Oppa." Aku menghambur memeluknya. Bentuk syukur melihatmya baik-baik saja.
J-Hope membalas pelukan ku. Nafasnya berat.
"Sayang, aku tak bisa. Tak bisa." Ucapnya membuatku bingung.
"Apa oppa baik-baik saja? Bagaimana perusahaan? Demo itu sudah berakhir?" Pelukan kami masih berlangsung.
"Apa maksud mu?" Jhope melepaskan pelukannya lalu menatapku aneh.
"Oppa mematikan ponsel tiga hari ini. Apa oppa tak tau apa yang terjadi?"
"Tidak, apa yang terjadi?"
J-Hope memacu mobilnya begitu ku ceritakan singkat tentang demonstrasi pekerjaannya di kantor. Wajahnya tegang, cemas, bingung juga khawatir. Ponselnya habis daya. Maka ku berikan ponsel yang kupakai padanya. Setidaknya jika orang tuanya menghubungiku bertanya lagi tentang anak mereka, akan langsung dijawab oleh Jhope.
Begitu mobil Jhope memasuki halaman gedung, semua demonstran mengerumuninya. Petugas keamanan dan polisi yang berjaga membantu mengamankan keadaan dan Jhope. Teriakan, makian, juga orasi masih terdengar. Mereka makin lantang dan bersemangat ketika melihat Jhope. Tangan Jhope terangkat mencoba menenangkan para demonstran.
"Maafkan aku jika terlambat datang menemui kalian. Bisakah kita bicarakan masalah ini di dalam gedung?"
"TIDAK! KAMI SUDAH CUKUP BERSABAR!" Orator menolak permintaan Jhope.
"Baiklah jika begitu, aku akan mendengarkan apa yang ingin kalian sampaikan."
Mereka semua mempertanyakan tanggungjawab perusahaan Jhope yang tidak membayarkan gaji pekerja angkut pelabuhan. Pekerja angkut itu direkrut oleh pihak ketiga untuk bongkar muat kapal kontainer yang dimiliki oleh Jhope.
"Dalam kontrak jelas tertulis jika perusahaan akan membayar gaji kami. Ini sudah tiga bulan, kami sudah mengirim surat pada perusahaan. Tapi kalian tidak peduli!"
Masa makin riuh. J-Hope yang di dampingi pak Seo, direksi juga Miran nampak berpikir keras. Mereka semua akhirnya mengerti bahwa kesalahan bukan pada perusahaan juga pekerja tapi pada pihak ketiga.
"Baiklah, perusahaan kami akan membantu kalian menyelesaikan ini. Sebelumnya tunjukkanlah perwakilan kalian, kita bicara didalam. Akan ku tunjukkan yang seharusnya kalian ketahui."
Percakapan alot terjadi siang itu. Pekerja tidak mau mengirim orang mereka dengan alasan akan dibodohi oleh perusahaan Jhope. Sedangkan dari pihak Jhope mereka tidak bisa menunjukkan secara sembarangan kontrak kerja dengan pihak ketiga.
Aku, ayah dan ibu dirumah menunggu dengan cemas. Peristiwa itu masih disiarkan oleh stasiun tv. Lalu lintas menjadi padat merayap didepan gedung kantor Jhope. Akhirnya setelah perdebatan panjang, terlihat empat orang mengikuti Jhope dan rombongan masuk dalam gedung.
Demonstran yang lain duduk tanpa alas didepan pintu masuk gedung Jhope. Mereka tidak banyak, hanya sekitar 30 orang namun cukup memadati depan gedung. Mayoritas adalah pekerja pria dengan rentang usia 30-45 tahun.
"Aigoo, sudah saatnya makan siang. Mereka kesal juga lapar." Ayah berkomentar.
"Appa, bolehkah aku meminjam ponsel appa?" sebuah ide terlintas dibenakku.
"Siapa yang akan kau telpon?" Ayah menatap janggal ke arah ku.
"Ini aku oppa, emm maaf mengganggu tapi apa tak sebaiknya kita juga memperhatikan demonstran yang menunggu diluar?"
"Hah! Dia ikut sibuk!" Ayah terlihat kesal mengetahui aku masih mendukung Jhope.
Aku beranjak keluar sambil tetap menelpon Jhope. Hanya sebuah usulan dan bentuk dukungan dariku untuknya yang sedang dirundung masalah. Bagaimanapun juga dia tetap masih suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake apologize, The Path I Choose
FanficDia bersamaku, namun masih berkutat dengan cinta lamanya juga. Apa alasannya menikahi ku? Apakah kata cintanya bukan kebohongan? Orang bilang bahwa cinta abadi berawal dari persahabatan. Itu tidak berlaku untukku. Start may, 21 2022