Crying boy.

941 72 0
                                    

"Life often makes no sense, there's something about stories that gives a sense of order and purpose to the world, and allows us to live other lives than the world we live in." - J.J Abrams.

J Abrams

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

• • •

Aku percaya bahwa hidup akan selalu menyimpan misteri.

Ada banyak sekali peristiwa yang terjadi dalam hidup dan dengan kemisteriusannya, membuat manusia lupa akan jati dirinya sendiri.

Aku mengikutinya, menerima takdir dan waktu yang terus berjalan tanpa harus menunggu untuk aku mengerti. Seperti saat ini, saat aku mempertontonkan seseorang yang sedang di aniaya, dari balik pohon persembunyianku.

Suara jeritan laki-laki itu layaknya takdir misterius yang memanggil jiwaku untuk mengikutinya. Remaja itu terkapar dengan wajah babak belur dan kemeja putihnya berlumuran darah.

Kalah. Satu kata yang terlintas saat melihat mata remaja itu menutup dengan perlahan. Wajahnya sudah tak berbentuk.

Kejam sekali. aku berharap tiga pria yang menganiaya remaja itu pergi secepatnya. Agar aku dapat menolongnya. Setidaknya, sebelum aku sendiri yang malah ketahuan dan bernasib sama dengan remaja malang itu.

Tiga pria itu tertawa kencang. Tawa yang mengintimidasi, dengan sirat kemenangan. Mengerikan.

Menunggu beberapa saat untuk akhirnya aku bersorak pelan, tiga pria itu pergi. Berjalan membelakangiku setelah sebelumnya menendang perut sang remaja.

Dengan langkah hati-hati, aku menghampirinya. Dia tergeletak dengan memeluk perutnya. Aku tahu rasa sakit itu.

"Halo, apa kamu masih sadar?"

Matanya tertutup. Wajahnya penuh darah. Aku berjongkok di sampingnya, lantas mengeluarkan sapu tangan dari kantongku, lalu mengelap wajahnya yang terluka.

Hati-hati sekali. Wajahnya sangat damai, walau penuh luka. Mataku tidak sengaja menangkap sebuah name tag yang tertempel di dada kirinya ; Atlantis Samu Glorious.

"Atlantis.."

Namanya, Atlantis? Langka dan aneh. Baru kali ini aku menemukan nama yang seperti itu dan-

"Astaga!" Aku memelotot kaget.

Remaja itu—yang kini kuketahui bernama Atlantis—menggenggam tanganku, dengan mata hitamnya menyorotiku terluka.

"Eeh.. tenang saja, aku hanya ingin menolong kamu." Aku melepas genggamannya. Tangannya dingin, dan tidak bertenaga.

Remaja itu terdiam, tidak mengiyakan juga tidak mengelak. Dia benar-benar membiarkanku membersihkan wajahnya.

Sesekali mataku meliriknya, dan pandangan kami bertemu. Mata hitam itu tidak bergerak sedikit pun dariku. Matanya menyiratkan kesakitan, kesedihan, dan kemarahan.

Hingga saat aku hampir menyelesaikannya, tanganku digenggam sangat erat secara tiba-tiba.

Aku menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. Manik hitam yang menyoroti kesakitan itu dalam waktu sepersekian detik berubah menjadi sangat menyeramkan.

Pupil matanya mengecil, entah bagaimana caranya—tetapi aku melihatnya, melihat mata hitam itu memekat, memandang ke belakang punggungku, seperti hewan buas yang sedang kelaparan.

Tidak ada sorot kesakitan di sana, tidak ada sorot damai yang kutangkap saat mengelap wajahnya. Mata hitam pekat itu, terlihat asing.

Tanpa aku sadari, remaja itu bangkit dan mendorong tubuhku ke belakang. Entah dari mana tenaganya, dia benar-benar membuat tubuhku terlempar ke belakang.

Jantungku berdegup sangat kencang. Tiga pria tadi ternyata berbalik dan berlari menghampiri kami.

Ini bahaya! Tidak ada yang mampu melawan mereka, berdua saja tidak, apalagi sendiri. Aku? Tubuhku bahkan semungil keong lumut, tolong kami, Tuhan.

Aku menggigit jari-jariku. Tidak pernah aku sangka, seolah melupakan bagaimana remaja tadi mendorong tubuhku kebelakang, hingga membuat aku terlempar. Dia benar-benar melawannya. Iya, tiga lawan satu, astaga!

Memilih menutup mata, dan berteriak, saat menyadari perubahan aneh dari remaja itu. Hei, dia terluka parah, badannya babak belur. Bahkan tadi, saat aku memegang tangannya, tidak kutemukan tenaga di sana.

Aku berbalik, tidak ingin melihatnya. Hingga ketika aku mulai terisak, kurasakan sebuah usapan di pucuk kepalaku.

Perlahan aku mendongak, dan mendapati dia di depanku, menatapku lekat. Manik hitam pekat itu tidak menampakkan kemarahan.

Tangannya mengambil tangan kiriku yang menggenggam sapu tangan dengan gemetar. Dia mengambilnya, memandang sapu tangan yang kubuat sendiri dengan tanda namaku di dalamnya ; Keysa Sou.

"Akan saya kembalikan." Dia melambaikan sapu tanganku lalu memasukannya ke dalam sakunya.

Aku terdiam. Melihatnya berbalik, dan melewati ketiga pria yang terlihat terkapar tak berdaya.

"Thanks."

Senja muncul, menyinari punggungnya yang berjalan menjauh.

"Keysa."

"Shit!"

Aku terpekik kaget. Peluh melingkupi tubuhku. Oh God, mimpi itu datang lagi.

"Astaga, kenapa mimpi itu lagi?"

Kepalaku pusing sekali, mataku mencoba melirik sekeliling dan mendapati tubuhku terbaring di dalam kamar, dengan gaun ungu.

Diluar sana hujan.

Aku menggelengkan kepalaku, "Tidak. Tadi itu.. bukan mimpi."

Iya. Aku salah. Sejak pria berkaca mata tebal itu memberitahuku sesuatu yang menjadi pertanyaan besarku, saat itu aku belum tahu, bahwa kejadian pertama kali yang membuatku terikat dengannya akan terus berputar dalam tidurku.

"Apa maksudnya ini, Samu?!" Aku berteriak, menjambaki rambutku frustrasi.

Samu tidak muncul sama sekali. Meski saat aku ketakutan dalam tidurku, akhir-akhir ini.

Aku merasakannya, rasa sakit itu.

• • •

Cursed,
Keys.

TBC.

KeysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang