Curtains.

619 53 2
                                    

"Did you ever stop to think that even if I am a monster, I might be your soulmate anyway?" - Julie Johnson, Erasing Faith.

"Did you ever stop to think that even if I am a monster, I might be your soulmate anyway?" - Julie Johnson, Erasing Faith

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

• • •

Bagaimana rasanya, melakukan hal terpuji di saat dirimu sedang dilingkupi oleh semua perasaan buruk.

Duduk di depan cermin meja rias untuk waktu yang lama. Pewarna bibir ini, tersisa setengah di cangkangnya, sebab warna merah darah itu telah aku gosokkan di bibirku, sebanyak yang kubisa.

Aku berani bersumpah, inilah yang teradil yang dapat aku lakukan atas diriku. Sungguh, inilah yang teradil.

Menjadi perempuan dengan tempramental buruk, aku mengakui bahwasanya sangat sulit untuk tetap tenang di depan meja rias, kemudian merias diri di saat emosionalku bahkan belum stabil.

Tetapi aku dapat bersungguh-sungguh, inilah cara teradil yang dapat dia berikan kepadaku.

Aku terdiam untuk sejenak, kala mataku menangkap siluet pada pantulan sisi kanan kaca rias.

Aku melihatnya. Dia di sana. Bersandar pada ujung pintu dengan kedua tangan di dalam saku, menatapku tajam.

Entah sejak kapan ia berada di sana. Sosoknya yang dapat kulihat malam ini, membuat diriku dapat merasakannya memenuhi jiwaku kembali.

Pandangan kami menyatu untuk beberapa saat, sebelum pada akhirnya aku memutuskan beralih, sebab tatapannya itu seperti mengatakan sesuatu yang membuatku menjadi gugup.

Sosok itu berjalan kearahku. Aku dapat melihatnya dari ekor mataku.

Laki-laki itu berhenti tepat dibelakangku. Ia membungkuk untuk mensejajarkan wajahnya dengan wajahku.

Tangannya mengambil alih pewarna bibir itu dari tanganku.

"Ketika seseorang marah, baiklah ia mengalahkan amarah itu dengan menimbulkan perasaan lain." Suara rendahnya mengalun tepat di telingaku, ketika tangannya membawa pewarna itu kebibirku, lalu menggosokkannya di sana.

"Gunakan perasaan lain yang lebih dominan. Kebencian sebagai contohnya, untuk menguasaimu dan membuat dirimu menjadi lebih cantik, alih-alih membuatnya terluka."

Samu meletakkan pewarna bibir itu di atas meja. Matanya kini menatap lekat bibirku yang berwarna sangat merah-warna yang sangat aku benci.

"Tetapi aku tidak membutuhkan semua ini untuk membuatmu menjadi perempuan paling cantik."

"Dan kamu harus menghapus kebencian ini, untuk hilang tak tersisa bersama amarah yang telah kalah sejak awal." Tepat ketika Samu mengucapkan kalimat terakhirnya, tubuhku diangkatnya untuk ia dudukkan di atas meja rias, lalu ia mencumbu ku dengan rakus di sana.

KeysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang