"Atlantis love. The love that can take the darkness from the pit of the night, and turn into a beacon burning endlessly bright."
• • •
Tahu tidak, hal apa yang paling mengesalkan?
Saat jiwamu ingin pergi, menginginkan kebebasan. Tetapi ragamu sendiri bahkan tidak mengizinkannya.
Ada banyak hal yang ingin ku ulang, ingin ku ulang untuk mencegah hal itu terjadi.
aku berlari, menangis, seluruh badanku menggigil, bergetar dengan hebatnya.
Tetapi apalah yang dapat aku lakukan? Selain berlari, kembali menghampiri penjara jiwaku sendiri.
Kulihat semua orang berkumpul di depan pintu putih yang sangat kukenali. Mereka, sama bergetarnya denganku, sama ketakutannya denganku. Semuanya menangis, dua wanita paruh baya di depan pintu putih itu bahkan berteriak histeris.
Aku berjalan ragu mendekati mereka, badanku bertambah bergetar. Salah seorang menoleh kearahku, membuat yang lain ikut menoleh—menyadari kehadiranku.
Salah satu wanita paruh baya yang menangis histeris itu menghampiriku. Wajahnya pucat pasih, basah.
Di tariknya aku ke dalam pelukannya, bibirnya bergetar saat mengeluarkan suara paraunya. "Terima kasih, nak. Terima kasih mau kembali. Tolong putraku, Eksa, di dalam sana. Cuma kamu yang bisa... Cuma kamu yang bisa nyelamatin Eksa.."
Aku mengangguk, melepaskan pelukannya, lalu berjalan bergetar mendekati pintu putih itu.
Bunda Atlantis, wanita paruh baya itu juga tak kalah histerisnya. Dia menghampiriku, memelukku juga.
"Maafkan Bunda, Keysa.. maafkan Atlantis.." Suaranya bergetar saat ia tak henti-hentinya mengucapkan kata maaf di telingaku.
Aku mengelus pundaknya sekilas, oh sungguh.. wanita ini, wanita yang sangat kusayangi. Tetapi waktuku tidak cukup, untuk terus memeluknya.
Aku melepas pelukannya, lantas kembali maju hingga diriku benar-benar berada di depan pintu putih yang tertutup rapat.
Dari jarak segini, aku benar benar dapat mendengar apa yang sedang terjadi di dalam sana.
Di dalam sana, suara yang sangat ku kenali, Eksa, menjerit, menangis meraung-raung meminta tolong, meminta maaf kepada satu nama yang aku tahu sekarang sedang sangat murka. Atlantis.
Dan itu semua karena aku, ini semua karena aku. Badanku bergetar hebat, ku pukul-pukul pintu putih itu dengan sekuat tenagaku, berusaha mengalahkan teriakkan Eksa.
Tangisku tumpah, tanganku menggigil, lantas aku berteriak. "BUKA PINTUNYA, ATLANTIS! INI KEYSA... AKU DI SINI, ATLAN.. KEYSA DI SINI.."
Aku mulai terisak, jari-jariku memerah, akibat pukulan yang tidak henti kulakukan. Tidak ada yang dapat membuka pintu putih itu, aku tahu semua orang di sini sudah berusaha membukanya.
Hanya akulah satu-satunya harapan mereka. Memang semua ini pun, salahku. Saat masih mendengar jeritan Eksa...
"ATLANTIS... INI KEYSA, SAYANG... AKU DI SINI.. AKU KANGEN BANGET SAMA KAMU, ATLAN.." aku terisak, menjerit-jerit, memukuli pintu.
Suara jeritan Eksa terhenti, didalam sana sunyi.
"Keysa?"
Itu suara Atlantis. Aku mengangguk, menghapus air mata di wajahku, lantas menjawabnya. "Iya sayang, ini aku.. Keysamu.. buka pintunya, ya, aku kangen banget sama kamu."
Tidak harus menunggu lama, tidak harus melakukan banyak cara seperti semua orang yang berkumpul di sana. Cukup Keysa, cukup dengan gadisnya, pintu itu terbuka saat itu juga.
Pintu itu terbuka, tanpa perlu aku melihat dengan jelas wajah kacau Atlantis, laki-laki itu langsung menghujamku dengan pelukannya. Memelukku sangat erat, seolah jika di lepasnya, aku akan pergi meninggalkannya lagi.
Dibawanya aku masuk kedalam kamarnya, dengan masih memelukku erat, lantas pintu putih itu tertutup kembali.
Atlantis terisak, laki-laki itu terisak dengan wajahnya yang ia tenggelamkan di ceruk leherku.
"Kamu tega.. kamu tega ninggalin aku.."
Aku mencintai laki-laki ini. Sangat mencintainya. Tetapi cintanya untukku sangat meluap-luap layaknya bara api di dasar gunung berapi, dapat melukai diriku kapan saja.
Aku terluka, aku terluka bersamanya. Semua orang jauh lebih terluka jika aku bersamanya.. tetapi aku sadar, dengan aku pergi darinya pun, tidak akan mengubah keadaan. Justru, cinta meluap-luapnya mampu meletuskan gunung berapi. Memakan lebih banyak korban. Menambah luka, untukku, maupun untuk orang-orang di sekitar kami.
Ku elus punggungnya, dia bergetar. Saat itulah aku tau, betapa sakitnya perpisahan itu sendiri.
"Maafin aku sayang.. maafin aku.." Ku kecup daun telinganya, lantas mengelus pucuk kepalanya.
Atlantis tambah terisak, di pelukanku. Tambah kupeluk badan bergetarnya, mengucapkan maaf, sembari terus ku kecupi daun telinganya. Terakhir ku kecup pucuk kepalanya, saat aku sadar, tidak hanya kami berdua yang ada di ruangan ini.
Aku melepas pelukanku, lantas berusaha melepas pelukannya. Namun yang kudapat, laki-laki itu makin mempererat pelukannya.
"Atlantis.. aku butuh bicara sama kamu sekarang. Ada yang lebih penting."
Atlantis menggeleng, sifat kekanakan laki-laki ini muncul.
"Sayang, sebentar saja.. aku cuma butuh sebentar untuk bicara, setelah itu kamu bisa peluk aku sepuasnya." Aku menarik-narik tangannya yang tidak bergerak dari pinggangku.
"Atlantis lepas! Atau aku akan pergi lagi." Aku frustasi. Atlantis, barulah melepaskan pelukannya.
Tersadar aku membentaknya barusan, wajahnya kacau sekali, basah, dan ada sedikit bekas luka.
Ku elus wajahnya. Aku tersenyum. "I want to eat you. But now, I want you to forgiven Eksa."
• • •
Cursed,
Keys.TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keys
Teen FictionKeys, prettiest, strongest, sweetest, my love. ⚠️ The male lead has Dissociative Identity Disorder ( DID ) experience. ⚠️