"Tolong bantu Mas bangun,"
Anum memeluk pinggang Ranu, perlahan membimbingnya untuk beranjak duduk. Selimut yang melingkupi kaki hingga batas pinggang Ranu disibakkan dan baru Anum membantunya untuk duduk ditepian.
"Ruangannya besar sekali, bahkan ada ruang tamu untuk orang yang mau menjenguk. Atasan kamu baik sekali, Mas."
Itu adalah kekaguman kesekian yang Anum lontarkan. Tidak tahu saja kalau Ranu sendiri sudah benar-benar tidak ingin membahasnya. Atau lebih tepatnya, Ranu tidak ingin membahas apapun yang berhubungan dengan Aira.
Entahlah... dirinya hanya merasa ada yang janggal dan sebisa mungkin mulai saat ini berniat untuk menjaga jarak.
"Jadi ke kamar mandinya?" Anum merangkum pipi Ranu yang terlihat melamun. "Akhir-akhir ini kamu gampang sekali melamun Mas. Ada apa? Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Ranu menggeleng kecil, "bukan apa-apa. Hanya kepikiran masalah Ibu."
Mendengar nama Martini kembali dibahas, ada raut murung yang tidak bisa Anum tutupi. "Ibumu sebentar lagi pasti akan datang dan dia pasti akan segera mengusirku Mas,"
Melihat wajah jelita Anum yang sedih, Ranu berganti merangkum wajahnya. "Nanti biar Mas yang bilang sama Ibu ya? Kamu jangan sedih lagi."
Meski masih menyisakan kesedihan, Anum mengangguk juga. "Ayo, aku bantu ke kamar mandinya."
Ranu menggeleng, "ke taman saja, mau?"
Anum mengangguk sebelum detik kemudian menggeleng. "Katanya mau ke kamar mandi?" Anum mengingatkan niat awal Ranu memintanya untuk membantu lelaki tersebut beranjak dari baringannya.
"Nanti saja sama suster." Gumamnya dengan wajah sedikit memerah.
"Loh, kenapa?"
Ranu sebenarnya merasa malu kalau harus meminta bantuan dan sampai merepotkan Anum perihal untuk membantunya ke kamar mandi. Tapi, untuk menjelaskannya saja dirinya tidak memiliki keberanian.
"Nanti saja,"
Anum sendiri hanya menebak kalau Ranu mungkin merasa malu untuk meminta bantuannya sehingga hanya mengangguk saja. Mungkin setelah ini dirinya bisa membantu untuk memanggilkan perawat agar lebih nyeman dalam membantu Ranu.
"Mau keluar sekarang?"
Ranu mengangguk. Anum menunjukan senyumnya yang manis. Dengan pelan dan penuh kelembutan, dituntunnya Ranu untuk menapakan dua kaki di lantai.
"Kamu nggak punya sandal, Mas?"
Ranu terkekeh geli dan menggeleng. Ini mungkin hari kedua dirinya dirawat di rumah sakit, dan baru sekarang dirinya menyadari bahwa dirinya tidak memiliki alas untuk berjalan. Selama ini semuanya selalu sudah disiapkan dan tersedia. Ranu menjadi lupa caranya bersikap mandiri karena terlalu dimanjakan.
"Biar aku mintakan selop sama susternya. Kamu bisa duduk sendiri?"
Meski masih merasa sedikit pusing, Ranu tetap mengangguk. Rasanya semakin memalukan saja kalau sampai menunjukan betapa lemah dirinya saat ini.
"Kalau begitu, aku tinggal sebentar. Kamu jangan kemana-mana."
Ranu menunjukan senyumnya. Sementara Anum berlalu pergi dan terakhir yang didengarnya adalah suara pintu tertutup. Waktu masih menunjukan pukul tiga sore dan rasanya berjalan-jalan sebentar untuk menghirup udara segar di taman rumah sakit akan sedikit menyegarkan pikirannya.
Untuk menetralisir kesemutan pada dua tungkainya, Ranu menggoyang-goyangkannya sedikit. Dua kakinya masih menggantung ditepian bed pasien saat puntu terbuka diikuti dengan langkah berderap.

KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...