15|OBSESI

1.8K 52 2
                                    

Suara kuncian pintu yang dibuka membuat tatapan kosong Ranu teralihkan. Sejak pertama kali mendapatkan kesadarannya, lelaki tersebut masih terlihat linglung dan mencoba mencerna situasi yang terjadi padanya.

Bagaimana tidak? Ranu terbangun dengan kedua tangan terikat masing-masing pada bagian tiang ranjang. Tidak membuatnya sampai kesakitan, tapi tentu saja ikatan tersebut melumpuhkan ruang geraknya. Dan satu-satunya yang dirinya ingat adalah keberadaan Aira. Atasannya tersebut adalah orang yang mengikat juga mengurungnya hingga menjadi seperti ini.

Aira sekaligus menjadi satu-satunya orang yang bisa mengakses masuk ruangan tersebut.

"Oh, sudah bangun?"

Ranu tidak bergeming dengan tatapan datarnya, "tolong lepaskan ikatan ini dan biarkan saya pergi dari tempat ini."

Masih seperti hari-hari sebelumnya, Aira tidak pernah benar-benar menanggapi kalimat semacam itu. Langkahnya tetap melenggang anggun dengan nampan yang sudah pasti adalah menu sarapan Ranu.

"Kamu masih sakit, masih butuh banyak istirahat."

Selalu jawaban yang sama hingga Ranu merasa sangat muak. "Saya baik-baik saja! Mbak Aira benar-benar sudah sangat keterlauan karena melakukan hal ini kepada saya!"

"Wah... sudah bisa berteriak juga sekarang?" Aira justru menanggapinya dengan senyuman tipis, "berarti luka di perutnya sudah nggak sakit lag, hm?"

Ranu melengos tidak percaya. Memangnya siapa yang peduli pada luka diperutnya ini sedangkan dirinya benar-benar diikat dan dikurung di dalam kamar seolah adalah seorang tahanan.

"Saya mau keluar!"

"Iya, nanti. Kalau sudah benar-benar sembuh nanti pasti bisa keluar."

Wajah Ranu memerah dengan urat-urat menyembul dinagian pangkal leher saking geramnya. "Mbak Aira! Sebenarnya apa yang Mbak inginkan, ha?! Saya ini karyawan Mbak, kenapa Mbak memperlakukan saya seperti ini?!"

"Karyawan?" Tantang Aira yang seolah menikmati wajah juga ekspresi marah yang Ranu tunjukan. "Sekarang sudah bukan lagi, lho... kamu sudah dipecat."

Bola mata Ranu melebar. Tidak menyangka bahwa dirinya akan dipecat tanpa sepengetahuannya. "Ka—kalau saya benar-benar sudah dipecat, sekarang lepaskan saya!"

"Kenapa aku harus? Kamu dipecat itu agar bisa lebih fokus pemulihan. Saya sendiri yang akan merawat kamu sampai kamu benar-benar sembuh."

"Jangan bercanda, Mbak! Kamu ini bukan siapa-siapa saya, kenapa harus Mbak Aira yang merawat saya?! Dimana Ibu saya?"

Kekehan pelan Aira suarakan. Bukankah lucu kalau sekarang Ranu menanyakan keberadaan Ibunya? Martini jelas-jelas adalah orang yang sangat menikmati keadaan ini. Bahkan wanita tua itu sudah berhenti menanyakan Ranu sejak hari ketiga. Matanya sudah dibutakan oleh barang-barang mewah juga semua hal yang Aira berikan untuk memfasilitasi jiwa miskinnya yang begitu murahan.

"Justru Ibu kamu yang meminta aku untuk merawat kamu. Dia membawa kamu kemari dan meninggalkan kamu disini."

"Nggak mungkin!" Geram Ranu.

"Kamu nggak percaya?" Lalu Aira mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku rok. Mengetik beberapa saat sebelum menunjukan layarnya yang menunjukan foto juga video Martini sibuk kesana kemari bersama dengan barang belanjaannya disuatu pusat perbelanjaan. "Sekarang ini, Ibu kamu sedang sangat sibuk berbelanja. Aku memberinya kartu debit dan dia senang sekali sampai nggak memiliki waktu untuk merawat dan menjaga kamu. Anaknya sendiri."

Ranu terlihat sedikit kalut hingga membuat gerakan rergesa untuk bergeser dan menuruni ranjang. Gerakannya yang patah-patah sekaligus tenaganya yang masih lemah membuat Aira dengan mudah bisa menarik kembali Ranu hingga terhempas kembali ke ranjangnya.

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang