20|OBSESI

2.3K 97 9
                                    

Dua orang pelayan toko barang mewah datang dengan tangan penuh kantung belanjaan. Setidaknya ada lima papper bag besar dan tiga kecil yang baru saja selesai mereka kemas. Belum lagi menyusul masuk, seorang pelayan laun yang datang dengan kotak katalog jam tangan koleksi terbaru toko mereka.

"Nyonya, ini adalah yang Anda minta. Kami sudah menyiapkan semua yang terbaru dan termahal."

Martini sudah bukan lagi Martini yang dulu. Lihat saja tampilannya sekarang ini yang sudah benar-benar berubah menjadi kaum borjiuis kelas atas. Dari topi hingga ujung sepatu semuanya adalah barang mahal. Keluaran butik ternama di Singapura.

Sudah lebih dari satu minggu dan Martini benar-benar melepaskan gelar kemiskinam dengan menjelma menjadi sang nyonya sosialita kelas atas.

"Bungkus semuanya. Saya membeli semua barang mahal yang ada."

Nada sombong tersebut tidak mengherankan. Martini datang dengan sebuah jaminan belanja tanpa batas yang Aira berikan. Sementara petugas toko menatap seorang asiten yang memang ditugaskan oleh Aira untuk mendampingi Martini. Termasuk bertanggungjawab dalam mengurus pembayaran.

"Nyonya sudah menghabiskan setidaknya tigaratus juta selama dua hari ini. Itu belum termasuk penggunaan kartu selama seminggu ke belakang."

Martini melirik sinis, "mau tigaratus atau limaratus sekalipun, itu bukan urusan kamu untuk memprotes. Ini adalah uang Nak Aira dan calon menantu saya itu sudah jelas petintahnya. Kamu tuli? Saya ini disini untuk berlibur dan saya dibebaskan untuk membeli apapun yang saya suka."

Asisten Aira tersebut tentu tidak bisa mengatakan apapun selain mengangguk dengan senyum terpaksa. Martini lantas mengibaskan tangan dengan sombong, meminta asiten Aira tersebut segera menyelesaikan pembayaran. Sebuah papper bag disisinya yang sejak tadi terus dibawanya dengan senyuman lebar kembali dipandangnya penuh perasaan bangga.

"Stelan jas mahal ini pasti akan sangat cocok untuk Ranu. Hmm... putraku yang tampan itu memang sangat beruntung." Martini mengelus luaran papper bag dengan hati senang.

"Maaf, Nyonya... sebelumnya Anda meminta orang untuk menghubungi Bu Aira. Sudah ada balasan dan saat ini ada panggilan masuk dari Ibu Aira."

Wajah berseri Martini bertambah berkali lipat. Sudah satu minggu ini dan dirinya sangat ingin melihat Ranu. Jika sebelumnya Aira selalu beralasan bahwa Ranu membutuhkan waktu beristirahat lebih banyak, maka saat ini akhirnya Aira mengizinkannya melihat Ranu.

Pelayan yang sebelumnya memberikan ponsel dengan layar panggilan menyala segera disambut riang gembira oleh Martini. "Halo... astaga! Ibu kangen sekali sama kamu, Nak."

Layar ponsel Martini lantas menampilkan seraut wajah Ranu. Lelaki tersebut bersandar pada kepala ranjang dengan senyuman kuyu yang terlihat lelah. "Ib... ibu, gimana kabarnya disana?"

"Ibu baik, sangat baik." Tidak mungkin orang akan mengira Martini tidak bahagia dengan senyuman selebar itu. "Kamu sendiri bagaimana? Nak Aira bilang masih harus banyak istirahat? Ibu sampai telepon susah sekali,"

Ranu mengulas senyum, lelah. Sebuah tangan yang Martini kenali sebagai milik Aira tampak mengelus dada putranya tersebut. Senyum tipisnya terkembang melihat bagaimana sang putra diurus dengan begitu baik.

"Akh... aku baik, Bu—" lenguhan pelan terdengar dan Ranu terlihat menyandarkan kepala pada tumpukan bantal dibelakang punggungnya. "Hanya... ahh... sedikit sakit—"

Layar ponsel bergoyang sebelum beralih menampilkan raut wajah Aira yang terlihat cantik dengan balutan blous semi formalnya. "Saya interupsi karena sepertinya Ranu butuh kembali beristirahat." Senyum Aira terlihat sempurna, "Ibu sendiri disana bagaimana? Senang belanjanya?"

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang