"Sudah... cukup," Ranu sedikit menggerakan kepala. Lelaki tersebut menggeleng pada suapan ketiga. "Saya bisa makan sendiri, nggak perlu mba Aira yang menyuapi."
Aira mengembalikan sendok dengan pure alpukat yang menjadi menu sarapan Ranu. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk bisa membujuk lelaki tersebut dan kini justru memilih berhenti pada suapan ketiga.
"Kamu membutuhkan tenaga untuk pulih dan karena Dokter mengatakan lambung kamu juga ikut cedera, jadi makanan ini adalah yang paling aman untuk kamu konsumsi."
Ranu menggeleng kecil. Merasa Aira telah salah sangka dengan mengira dirinya mengehentikan makan karena menu yang membuatnya tidak berselera. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah dirinya yang sangat tidak nyaman karena harus makan dengan disuapi oleh atasannya tersebut.
Tidak peduli seperhatian apa atasannya tersebut, Ranu tetap merasa tidak nyaman. Kedekatan semacam ini juga jelas terlalu berlebihan.
"Bukan makanannya, Mbak tapi saya yang nggak nyaman disuapi begini." Lalu Ranu yang mencoba bergerak mengangkat tubuh dengan bertumpu pada dua sikut mendesis kesakitan.
Aira segera meletakan mangkuk pure alpukat Ranu keatas nakas untuk bisa membantu lelaki tersebut kembali berbaring. "Kan, apa saya bilang. Jangan banyak bergerak dulu. Luka kamu itu masih butuh untuk recovery atau akan semakin menimbulkan infeksi nantinya."
Ranu menahan erangan hingga pelipisnya kembali basah keringat. Nyeri dibagain perut hingga bawah dada benar-benar menyiksanya setiap kali menggerakan tubuh.
"Saya benar-benar nggak mau merepotkan Mbak Aira. Saya bisa—"
"Kamu masih sakit dan selama kamu sakit begini, saya yang akan merawat kamu. Ibu kamu sendiri yang meminta saya untuk melakukannya. Jadi, nggak ada alasan untuk kamu menolak lagi."
"Mbak, tolong biarkan saya berbicara dengan Ibu. Sepertinya ada kesalahpahaman disini, mungkin Ibu saya nggak mengerti dan—"
Aira bergerak untuk berdiri dari duduknya, "sepertinya kamu memang membutuhkan istirahat sekarang. Kalau begitu saya akan meninggalkan kamu agar bisa kembali beristirahat."
Aira bergerak pergi sementara Ranu yang tertahan dan jelas tidak memiliki ruang gerak yang bebas kesulitan menahannya. "Mbak! Tunggu— akhhh!"
Ranu mendesis menahan nyeri juga sakit yang menyerangnya. Hanya dengan gerakan kecil saja dan laki-laki tersebut sudah kembali kepayahan mengerang-erang kesakitan.
"Akhh... sakit sekali, Tuhan..." desis Ranu berkali-kali.
Aira sendiri yang memutuskan keluar tidak benar-benar pergi. Wanita tersebut menunggu di depan daun pintu yang kembali ditutupnya untuk kemudian membuka ponsel untuk bisa melihat melalui proyeksi kamera cctv yang dipasangnya pada setiap sudut ruangan Ranu.
Dirinya tentu tidak tega mendengar desis kesakitan Ranu, tetapi tetap tidak mau masuk dan mendekat melainkan tetap memonitor dari luar ruangan. Lima menit kemudian saat memyaksikan sendiri bagaimana Ranu berakhir tidak sadarkan diri karena tidak kuat menahan sakit barulah Aira memutar kuncian pintu dan bergerak mendekat.
Wajah pucat Ranu adalah yang pertama menarik perhatiannya. Tentu saja sebelum fokusnya terlihkan pada bibir yang telah menjadi candunya tersebut. Dua belah bibir Ranu sudah berubah memucat tetapi tetap terlihat begitu indah dimana Aira.
Sepertinya benar bahwa dirinya telah tergila-gila pada bibir itu.
Aira ingat untuk segera menelpon dokter tetapi yang dilakukannya sekarang justru berak mendekat dan menyapukan telapak tangannya pada dua belah bibir Ranu. Sapuan lembut perlahan berubah menjadi gerakan pelan hingga bibir Ranu sepenuhnya berada dibawah lingkup telapak tangan Aira.
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...