9|OBSESI

1.4K 48 0
                                    

"Minum dulu," Martini yang masih duduk diatas kursi roda mewahnya melirik pada perawat, "suster, tolong anak saya dibantu minum."

Lala mengangguk meski sebal. Martini ini terus saja memerintahnya. Kalau bukan karena Aira yang secara langsung memintanya untuk memperlakukan Martini dengan baik, sudah tentu Lala tidak akan sudi.

"Mari saya bantu untuk duduk tegak,"

Ranu yang sejak tadi hanya diam dan terus menatap langit-langit ruangan terlihat menurut saat pinggangnya diraih untuk dibantu duduk lebih tegak. "S—sus... ini dimana?"

"Bah! Anak ini rupanya masih belum sadar juga!" Martini yang merasa sudah lelah berbicara juga menjelaskan pada Ranu merasa kesal. Bahkan berkali-kali wanita tersebut mengatai Ranu yang menjadi bodoh setelah benar-benar terbangun. "Luhat Ibu, jangan-jangan kamu juga mendadak lupa pada Ibu?!"

"Ibu Martini, ini di rumah sakit. Tolong jangan berteriak atau berbicara dengan nada keras kepada pasien." Lala yang jengah tidak tahan untuk mengingatkan.

"Saya ini sedang berbicara dengan anak saya. Kamu siapa perawat rendahan berani ikut campur?"

Kalau sudah melotot begitu, bahkan Lala sekalipun bisa saja bersikap kelewatan dengan mendorong kursi roda Martini sampai menabrak dinding kaca disisi ruangan. Jengkel sekali rasanya.

"Saya hanya mengingatkan. Lagipula, Ibu Aira tidak akan senang kalau sampai tahu Ibu berteriak kepada pasien." Sebisa mungkin Lala tidak menggeram saat mengatakannya.

"Berteriak atau tidak, Nak Aira tidak akan pernah tahu kalau saja kamu tidak mengadukanya! Dan kalau sampai itu semua terjadi maka siap-siap saja kamu akan dipecat!"

Lala tentu kesal sekali mendengarnya. Martini semakin dibiarkan benar-benar semakin menjadi. Beruntung dirinya cukup sadar untuk tidak lagi memperpanjang urusan dan lebih fokus pada Ranu yang terlihat kebingungan.

"Kalian ini... kenapa?" Lalu tatapan sayu Ranu mengedar ke sekeliling. "Dan ini dimana?"

"Tentu saja di rumah sakit, kamu ini bagaimana. Kamu kan masih sakit dan membutuhkan perawatan!"

Ranu terdiam dan tampak berpikir untuk sesaat. Aneh sekali karena Ranu benar-benar merasa lemas juga tidak bertenaga. Seolah sudah tertidur untuk waktu yang sangat lama sampai membuat tubuhnya pegal.

"Bukannya kemarin— ugh!" Ranu memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut sakit. Lala segera mendekat namun ditolak secara halus. "Kenapa tiba-tiba pindah kemari? Ini bukan ruangan yang kemarin, kan?"

Lala menatap Martini sementara terus berpikir untuk memberikan alasan terbaiknya. Martini sendiri berdehm beberapa kali untuk mengalihkan gugup. "Me—memangnya kenapa kalau disini? Kamu nggak suka? Ibu saja lebih suka disini karena lebih luas dan bagus kamarnya."

Mendengar alasan yang hanya logis bila diucapkan oleh Martini tersebut, Ranu menghela napasnya panjang. Paham sekali watak Ibunya. "Apa Mba Aira juga yang membayar untuk ruangan ini?"

"Tentu saja!" Martini menjawab dengan penuh semangat, "Nak Aira itu benar-benar orang yang sangat baik. Bukan hanya kamu, tapi dia juga membiayai semua pengobatan Ibu selama disini."

"Membiayai pengobatan Ibu?" Ranu yang belum mendengar cerita lengkapnya hanya menggumam heran, "memangnya Ibu sakit juga?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Lala sebisa mungkin memalingkan wajah untuk menahan tertawa. Sementara Martini berdecih pelan dan memasang kuncian pada kursi rodanya. Dengan gerakan mendramatisir wanita tersebut menunjuk kaki kanannya yang terdapat plester rekat dibagian betis.

"Ibu itu jatuh kemarin sewaktu dievakuasi tetangga. Terus... kata Pak Dokternya juga karena menghirup asap kotor harus istirahat selama beberapa hari. Ibu bahkan sempat diberi terapi oksigen kemarin!"

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang