3| OBSESI

1.5K 55 2
                                    

Ranu sakit.

Itu adalah apa yang di dapatkan Aira ketika sampai pukul sembilan dan belum juga menemukan sosok yang membuatnya bersemangat berangkat ke kafe akhir-akhir ini. Tidak mau repot dengan perasaan resah, Aira memilih bertanya kepada seorang pegawainya yang kebetulan bertetangga dengan laki-laki tersebut.

"Saya akan off siang ini untuk pergi menjenguknya kalau begitu. Tolong minta Ratih untuk meng hendle semuanya"

Hendra— pelayan restaurant yang juga adalah tetangga Ranu mengangguk. "Siap Bu. Kalau Bu Aira berniat menjenguk saya akan kirimkan nomor kamarnya nanti"

Aira mengangguk. Di tempat ini memang hanya ada satu rumah sakit yang menjadi rujukan di klinik. Dan kalau sampai Ranu dibawa kesana maka jelas klinik sudah tidak mampu menangani. Aira jadi semakin khawatir, sakit apa sebenarnya sampai Ranu harus dirujuk ke rumah sakit?

Dan jawabannya tidak perlu menunggu lama untuk Aira mengetahuinya. Anum, wanita yang sama yang baru kemarin sore ditemuinya di teras rumah Ranu sedang duduk melamun di kursi besi depan ruangan Ranu. Hanya sebuah bangsal umum dengan lima sampai tujuh bed pasien yang dipisahkan dengan sekat khorden antar pasien, tapi Aira tetap yakin bahwa keberadaan wanita tersebut adalah untuk Ranu.

Aira tidak merasa harus berbasa basi menyapa sehingga hanya diam saja diantara tatap keduanya yang sempat bertemu. Anum tampak sekali khawatir tetapi anehnya tidak juga masuk bahkan saat tahu Aira melewatinya begitu saja.

"Mba Aira... astaga! Sampai repot-repot datang" Martini tampak heboh sekali, terutama saat bagian memperkenalkan Aira sebagai atasan Ranu di restaurant.

Tujuh bed yang berada disisi dan diseberang bed Ranu tampak sedikit berisik, melongok dan penasaran ingin melihat sosok Aira yang dipuji-puji Martini dengan sangat berlebihan.

"Bu, tolong pelan sedikit... nanti bisa didatangi perawat kalau berisik" suara serak Ranu yang duduk menyandar dengan kepala terlilit perban lebih menarik atensi Aira.

Martini menggandeng Aira mendekari bed Ranu. Selembar selimut tipis menutupi bagian kaki hingga batas pinggang lelaki tersebut, padahal ruangan tersebut cukup pengap karena dipakai bersama dan hanya ada dua buah kipas angin di dinding.

"Mbak Aira mau saya buatkan minum? Teh atau kopi?" Martini menunjuk termos air panas dengan rentengan kopi juga setoples gula dinakas sisi bed.

Hanya demi sopan santun, Aira mengangguk, "teh saja Bu, maaf merepotkan. Dan tolong panggil saya Aira saja..."

"Halah cuma teh saja mana mungkin merepotkan. Mbak Aira ini yang repot-repot sampai menbawa buah sebanyak ini..." Martini mengatakan hal tersebut dengan mata berbinar menatap parsel buah yang Aira bawakan sebagai buah tangan.

Aira hanya tersenyum menanggapi. Lalu, tatapannya beralih pada Ranu yang bersandar lemas pada tumpukan bantal di belakangnya. "Bagaimana keadaan kamu?"

"Sudah lebih baik, Mba" Ranu tampak menyembunyikan lengan kanannya disisi tubuh. Dari perban putih yang menyembul, Aira tahu bahwa bagian tangan tersebut juga turut terluka. "Maaf jadi merepotkan, Mba Aira sampai datang sendiri kesini"

"Nggak merepotkan sama sekali," Aira mengulas senyum tipis. "Tapi bagaimana ceritanya sampai kamu luka-luka begini? Kamrin sore bukannya masih baik-baik saja?"

Ranu tampak menatap canggung, sementara Martini yang datang dengan segelas plastik teh panas mendengus kesal. "Jatuh dari motor dia Nak Aira, diserempet orang! Sudah jelas pelakunya siapa, wong orang desa melihat semua tapi masih saja ngeyel nggak mau melapor ke polisi"

"Sengaja diserempet?" Aira merasa perlu memastikan satu hal tersebut.

Ranu tersenyum kecil dan tampak menolak menjawab, sementara saat Aira menoleh Martini, wanita baya tersebut secara terang-terangan menyalahkan seseorang. "Jelas sengaja! Semua orang saksinya, si Jono itu kan pesuruhnya Pak Darmawan. Ini pasti gara-gara si Anum itu kemarin nekat datang ke rumah!"

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang