Dokter pribadi Aira terpaksa diundang datang untuk melakukan check up konisi luka dibagian perut dan dada Ranu. Kedatangannya yang menjelang malam sama sekali tidak mengusik Ranu karena memang lelaki tersebut sengaja terus dibius agar tetap tenang selama proses pemeriksaan.
"Bagaimana keadaannya?"
Dokter Bram melepas stetoskop dari sisi telinga dan beralih membuka selimut tebal yang melingkupi tubuh Ranu untuk memeriksa bebatan luka. "Sudah mengering sempurna. Besok atau lusa, perban bebatnya sudah bisa dilepaskan."
"Syukurlah kalau begitu..." Aira mengulas senyum tipis.
Dokter Bram beralih memeriksa reflek pupil mata dan juga laju pernapasan Ranu. Memastikan semuanya aman karena pemberian sedasi bius yang terus menerus bisa memperngaruhi jalur pernapasan juga gerakan statis reflek gerak.
"Kamu membiusnya lagi?"
Aira mengangguk, "terpaksa aku lakukan. Dia terus saja berteriak dan meminta untuk pergi. Padahal... keadaannya belum benar-benar sehat."
"Sekarang sudah sehat, apa itu berarti kamu akan membiarkannya pergi?"
Dan Aira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Sikap diamnya membuat Dokter Bram terkekeh pelan. "Kamu menyukainya?"
Wajar bagi Dokter Bram menanyakannya. Dokter Bram sendiri tidak lain adalah kenalannya sejak lama dan lebih bisa dikatakan mereka cukup memegang rahasia satu sama lain. "Apa kelihatan jelas?"
"Seperti ada tulisan di kening kamu sekarang inu kalau kamu sudah tergila-gila pada laki-laki ini. Sudah begitu, mana mungkin kamu rela membiarkannya pergi,"
Benar. Sejujurnya sekarang Aira sedang begitu bingung. Dirinya merasa tidak akan bisa untuk membiarkan Ranu pergi dari sisinya. Pikiran jahatnya terus berkelana dirinya ingin menahan Ranu untuk tetap tinggal, tetapi keadaan lelaki tersebut sudah membaik. Tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap menahan Ranu di sini.
"Apa Om Santoso tahu tentang lelaki ini?" Bram yang mengamati raut wajah Aira seketika bisa mendapatkan jawaban dari pertanyaannya sendiri. "Kamu menyembunyikannya? Apa ini alasannya kenapa kamu belum juga kembali dan memilih menetap lama di kota ini?"
"Papi pasti akan langsung menentang. Bukannya mendapatkan restu, salah-salah justru nyawa Ranu yang akan berada dalam bahaya."
"Lalu sekarang apa? Kamu jelas tidak bisa terus menghindar dan bersembunyi terumana dengan membawa laki-laki ini bersamamu. Cepat atau lambat, Om Santoso jelas akan menemukan kalian."
"Karena itu aku ingin menghabiskan waktu dengan Ranu selama mungkin... aku ingin dia terus berada disisiku sampai saatnya nanti aku kembali."
"Biar aku menebaknya, dia menolak?"
Dan sikap diam Aira kembali menjadi jawaban atas pertanyaan Bram. "Selisih umur kami terpaut jauh. Delapan tahun. Wajar saja dia menlak aku, apalagi dia sudah memiliki kekasih yang ingin dinikahinya."
"Tapi dia bisa mendapatkan segalanya seandainya mau terus berada disisi kamu!" Bram menekankan hal yang bahkan Aira yakini akan ditolak oleh Ranu tanpa perlu lama berpikir.
"Dia berbeda... dia sama sekali tidak tertarik pada uangku." Gumam Aira sebelum mengambil posisi ditepian ranjang. Diusapnya kening Ranu lembut. "Karena itu aku menyukainya. Dia sangat... mempersona."
"O-waw!" Bram menunjukan raut takjubnya. "Apa akhirnya Nona Aira Suseno ini jatuh cinta?"
Senyum segaris Aira tunjukan. "Mungkin..."
"Kenapa lagi? Jangan bilang ini hanya rasa suka sesaat?" Ditatapnya Ranu yang pucat juga tidak sadarkan diri. "Aneh karena sebelumnya kamu tidak pernah menunjukan kepedulian seperti ini. Bahkan pada Arga Murti sekalipun dia adalah mantan suami yang sangat potensial bagi keluarga Suseno."
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...