18|OBSESI

1.8K 63 5
                                    

Sore kemarin Ranu mendapatkan satu suntikan dari Dokter Ibnu dan hasilnya sudah bisa dilihat sekarang. Laki-laki tersebut terbangun dalam keadaan lemas luar biasa tanpa mampu menyeret tubuhnya sekedar beranjak dari posisi berbaringnya. Kedua tangan dan kaki Ranu sudah terbebas dari strap yang mengekang tetapi itu semua tidak lagi berguna karena tubuhnya begitu lemah dan tidak bertenaga.

"Ranu... hei, kamu melamun lagi?" Aira memandang Ranu dengan tatapan prihatin yang jelas hanya dibuat-buat saja. "Jangan terlalu sedih, dokter yang memeriksa bilang kalau ini hanya karena kamu terlalu memaksakan diri kemarin sampai menyebabkan luka di perutnya bereaksi. Kalau kamu menurut untuk beristirahat nanti juga akan segera sembuh."

"Mbak... tolong biarkan saya pergi..."

Aira meradang dalam hati. Dengan suara lemah dan serak seperti ini saja masih bisa Ranu mengingat untuk dibiarkan pergi. Tapi toh meskipun kekangan dikedua kaki dan tangannya sudah dilepaskan, Ranu tetap tidak akan bisa bergerak seincipun dari posisi berbaringnya.

"Iya... aku akan biarkan kamu pergi, tapi dengan catatan kalau kamu sudah sehat. Mau kamu meminta terus sekalipun, kalau keadaan kamu masih seperti ini tetap nggak akan aku biarkan pergi."

Mendapatkan jawaban berbeda yang seolah menjadi secercah harapan bagi Ranu untuk bisa keluar dari tempat ini, dengan segera mengalihkan tatapan kosongnya. "Bb—benarkah? Mbak Aira... akan membiarkan saya pergi?"

Tentu saja tidak akan pernah! "Tentu saja. Memangnya aku punya hak apa tetap menahan kamu disini? Semua yang aku lakukan ini adalah murni karena aku peduli. Aku mengkhawatirkan kamu, Ranu."

Tangan Ranu yang diraih Aira dalam genggaman perhalahan bergerak melepaskan diri. Dan Aira hanya bisa tersenyum kecut karenanya. Sudah dalah kondisi lemah seperti ini saja Ranu masih berani menolaknya.

"Terima.... kasih Mbak. Saya... janji akan segera sehat..." senyum lemah Ranu terlihat memiliki harapan.

Hah! Mimpi saja. Ranu tidak akan pernah kembali sehat, tidak tanpa izin dari Aira.

"Kalau begitu, sekarang kamu harus jadi penurut agar lekas pulih. Dokter Ibnu akan datang setiap dua hari sekali untuk memeriksa keadaan kamu. Makan dengan teratur dan juga jangan lagi menolak meminum obatnya. Mengerti?"

Ranu mengangguk patuh. Tentu saja karena berpikir bahwa Aira akan melakukan yang terbaik untuknya karena benar-benar mendukung proses kesembuhannya. Dalam hatinya, Ranu sudah benar-benar tidak sabar untuk sehat dan menemui kekasih hatinya. Anum.

"Nah, sekarang ayo aku bantu bersih-bersih baru setelah itu kita sarapan."

"Tidak perlu Mbak, saya bisa—ugh!" Ranu kembali gagal ketika mencoba beringsut bangkit. Tubuhnya lemas sekali bahkan sampai gemetar ketika dipaksakan bergerak.

"Nggak perlu sungkan, ayo..." Aira sudah sengaja mengenakan kaus berlengan pendek untuk memudahkannya membantu Ranu.

Ekspresi wajah Aira memang seperti biasa, tapi siapa yang mengira kalau dalam hatinya sekarang ini dirinya sedang sangat senang. Lihat saja, bukankah ini sebuah kemajuan yang bagus? Hanya dalam satu kali pemberian dosis obat dan Ranu langsung menjadi lemah hingga tidak akan bisa menolak setiap perhatiannya.

Selimut yang melingkupi tubuh Ranu disibak, sementara tatapan mata Aira terpaku pada tubuh yang melemas sepenuhnya karena suntikan pelemas otot yang Dokter Ibnu berikan, Ranu yang canggung juga malu terlihat tidak nyaman.

"Mbak... saya bisa—atau minta Ibu saya saja yang..." kalimat Ranu terhenti saat Aira mulai menarik lengannya untuk membantu bangkit.

"Memanggil Ibu Martini juga sia-sia. Kemarin sore Ibu datang untuk mengemas koper kamu sekaligus mengambil visa dan pasport. Sekarang ini mungkin Ibu sedang bersenang-senang atau bisa saja sibuk berbelanja."

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang