Ranu menggetarkan kelopaknya yang terasa berat, berkedip perlahan untuk mengembalikan pandangannya yang sempat terasa memburam tadi. Jemari tangannya yang mengepal tanpa sengaja membuatnya berjengit saat menemukan oxymeter menjepit bagian telunjuk tangan kanannya.
Cukup lama Ranu menatapi langit-langit ruangan sekedar menggali ingatannya tentang apa yang sampai membuatnya berada di tempat ini.
Kecelakaan. Rumah sakit. Aira.
"Oh, sudah bangun?" Suara bernada lembut dari atasannya tersebut membuat Ranu tertegun untuk beberapa saat. Aira tampak masih mengenakan stelan kerja yang terakhir kali dirinya ingat. Apa wanita ini belum pulang?
Ranu mengangguk dan tampak berusaha bangkit duduk. Aira tentu dengan senang hati membantunya meski berakhir Ranu yang duduk atas usahanya sendiri. Aira hanya membantu menatakan bantal untuk sandaran punggung.
"Terima kasih."
Aira masih diam, mengamati Ranu dalam senyuman terkulum. "Sudah merasa lebih sehat?"
Ini terdengar mulai aneh karena pertanyaan yang Aira ajukan juga kehadiran wanita yang merupakan atasannya tersebut terkesan berlebihan. Tidak tepat diberikan kepada dirinya yang merasa hanyalah karyawan rendahan.
"Terima kasih, semua ini berkat bantuan Mba Aira. Saya... bisa mendapatkan fasilitas bagus seperti ini"
"Aira saja," selanya dengan wajah tidak berubah. "Lagipula kita sedang nggak di restoran kan?"
Ranu menggeleng kecil, "saya lebih enak memanggil begitu. Lagipula... saya hanya ingin menghormati Mba Aira yang lebih dewasa dari saya"
Aira menunjukan senyum tipis. Dadanya tercubit mendengar penolakan terang-terangan tersebut. Berusaha untuk tetap bersikap tenang, dirinya bergerak mendekat untuk mendudukan diri di kursi penunggu di samping ranjang. "Ibu Martini pergi sebentar untuk mengambilkan barang-barang kamu di rumah. Sementara itu, aku yang akan menjaga kamu disini, jadi kalau butuh apa-apa panggil saja"
"Mba Aira lebih baik juga pulang, ini sudah larut. Saya nggak mau semakin merepotkan. Cukup dengan Mba Aira membayarkan semua biaya pengobatan rumah sakit saya, saya saja sudah merasa sangat nggak enak"
"Saya memang mau melakukannya, jadi nggak perlu dianggap merepotkan atau nggak enak." Aira beralih pada ransum makan Ranu yang memang sudah diantarkan sejak beberapa saat lalu lelaki tersebut masih terlelap. "Mau saya bantu makan?"
"Nanti saja"
Aira menyadari sepenuhnya bahwa apapun yang coba Ranu lakukan saat ini adalah bentuk dari penolakannya. Tidak ingin lebih memaksakan, Aira akhirnye menaruh kembali ransum makanan milik Ranu. "Yasudah kalau nggak mau makan sekarang. Tadi Ibu Martini mengatakan mau pulang sebentar untuk mengambil beberapa perlengkapan menginap. Nanti malam yang akan menemabi Ibu Martini, nggak apa-apa kan kalau saya pulang?"
Tatapan Ranu yang sedikit mengernyit seolah mempertegas bahwa hal tersebut justru semakin aneh karena sampai dipertanyakan. "Mba Aira pulang saja, saya sudah baik-baik saja dan juga ada Ibu yang menjaga saya. Mba Aira pasti lelah dan memang lebih baik nggak perlu menginap saja"
Aira terdiam dengan jawaban Ranu. Helaan napasnya terdengar panjang sebelum berusaha mengulas senyum tipis meski bibirnya terasa kaku. "Kalau begitu, kamu baik-baik disini. Katakan saja kalau ada yang membuat kamu atau Ibu Martini merasa kurang nyaman."
Ranu hanya mengangguk sekenanya.
"Saya pulang dulu" Aira berniat mengelus lengan Ranu sebagai bentuk perhatian tetapi rupanya, lelaki yang sudah sepenuhnya sadar tersebut dengan cepat menarik tangannya menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
O B S E S I [END]
General FictionUpdate sesuka hati ❤ Hanya cerita fiksi dan tolong jangan diambil hati setiap adegannya karena mengandung abusive relationship 😉 Selamat membaca :* ■■■ Ranu Hasmi mencintai Anum yang merupakan kekasih hatinya. Sayangnya, statusnya yang hanya karyaw...