21|OBSESI

2.2K 85 5
                                    

Niit... niiit...

Beeeeeeeeep...

Gerakan bola mata di dalam kelopak Ranu melambat. Respon tubuhnya terpantau melalui monitor vital yang ada disisi nakas. Lama hingga akhirnya benar-benar terbuka. Tatapan dibaliknya menunjukan betapa lemah keadaannya.

"Hausss.... tolong..."

Telunjuk tangan kiri Ranu yang dipasangi oximeter mengentak lemah. Bibirnya terasa sangat kering dan kaku. Ketika menggerakan kepala, tidak ada yang telihat olehnya selain buram.

"Tohhhlong... ngh..."

Ruangan ini senyap dan sepi. Tidak seorangpun yang tinggal disisinya ketika dirinya mencoba untuk meminta bantuan. Padahal rasanya Ranu sudah hampir mati karena kehausan. Kerongkongannya kering dan lehernya terasa sangat sakit.

"Tooohhhhlong... airrr.... air..."

Aira yang sejak tadi memperhatikan dalam diam akhirnya bergerak. Ditutupnya majalah bisnis yang ada dipangkuan sebelum beranjak menghampiri ranjang Ranu. Lelaki tersebut memang sudah menunjukan tanda-tanda kesadaran semenjak terakhir kali terus tidak mampu mempertahankan tetap membuka mata meski Aira secara terang-terangan mengurusnya.

Mengurus disini adalah benar-benar mengurusi hingga sampai hal pribadi sekalipun. Aira membantu Ranu membersihkan diri dan dalam keadaan tidak sadar, Ranu sudah benar-benar ditelanjangi.

"Bangun dulu sebentar," Aira mendekatkan tepian gelas air putih pada bibir Ranu yang kering. "Pelan-pelan saja..."

Pasalnya Ranu meminumnya seperti benar-benar sangat kehausan. Aira hanya mengulum senyum melihat Ranu yang sangat lemah dan kini bergantung tanpa bisa menolak kepadanya.

"Sudah?"

Ranu mengangguk kecil, kelopaknya memejam saat Aira perlahan membantunya kembali berbaring pada tumpukan bantal. "Pukul... berapa sekarang Mba?"

"Pukul empat sore. Bagus kamu bangun karena sebentar lagi harus bersih-bersih."

Ranu hanya menggumam sebagai responnya. Keningnya berkerut-kerut sementara kelopaknya tetap terpejam erat. "Saya... tidur selama itu..."

"Nggak apa-apa, kan kamu masih sakit."

Senyum tersungging di bibir Aira. Benar apa yang dikatakan oleh Dokter Ibnu, setelah sadarkan diri usai pemberian dosis kedua keadaan Ranu memang terlihat semakin melemah. Lelaki tersebut bahkan tidak bisa berlama-lama terjaga karena terlalu lelah. Padahal jelas tidak melakukan apa-apa selain berbaring.

"Mba—akh.... bisa bantu bangun?" Tangan Ranu menggapai-gapai yang segera digenggam Aira.

Keras kepala sekali, "kamu panggil aku Ai dulu baru aku bantu duduk."

Tatapan mata Ranu menyipit, bukannya dengan maksud demikian tetapi memang karena terlalu berat untuk melebarkan kelopak matanya tersebut. "M-mbak... kenapa Ai?"

Rasanya cukup memalukan kalau Aira mengakui bahwa dengan panggilan sederhana tersebutlah dirinya tertarik pada Ranu. Tapi enggan juga untuk mundur. "Ai untuk nama saya, Aira. Lagipula kamu bukan pegawai lagi dan aku sendiri yang sudah mengawali menggunakan panggilan lebih santai."

"Tap—ppi... umur Mbak lebih..." kalimat Ranu menggantung dengan desisan diujungnya. Serangan pusing kembali membuatnya tidak berdaya.

Berbeda dengan Ranu yang mengerang kesakitan, raut wajah Aira justru berubah cepat menjadi keruh. Tatapannya berubah dingin. Haruskah Ranu mengungkit perilah usia dengannya?

Bukankah usia hanya sebatas angka?

Belum selesai Ranu dengan rasa sakitnya, Aira beralih menekan panggilan pada salah seorang pelayan untuk mempersiapkan peralatan mandi Ranu. Kali ini biarkan saja lelaki dihadapannya ini menerima kenyataan bahwa tanpa dirinya, Ranu tidak akan bisa melakukan apa-apa.

O B S E S I [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang