Gelap.
Namun, Jessi masih dapat melihat sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan kosong. Selain itu tidak ada suara kecuali dengungan panjang yang merambati indra pendengaran Jessi. Pengelihatan Jessi juga terasa kabur tetapi ia bisa mengenali dengan pasti siapa gadis yang hanya terdiam di hadapannya itu.
Sosok itu adalah Jesslyn Callista, kakak perempuannya.
"Ah!" Seketika Jessi terperanjat dari lelapnya dengan napas memburu, jantungnya berdebar tidak tenang, dan keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya.
Jessi kembali memejamkan mata dan mendesis kesal menyadari semua itu hanya mimpi. Mimpi yang sudah lama tidak ia alami. Tangan kanan Jessi bergerak memijat kening sementara tangan kirinya tiba-tiba memukul meja dengan keras hingga gelas berisi kopi yang masih penuh itu meloncat turun dan jatuh ke lantai.
Prang!
Dari luar segera terdengar langkah kaki mendekat yang terburu-buru, lalu pintu kamar Jessi tiba-tiba dibuka begitu saja tanpa permisi.
"Cici, kenapa?!" Itu Freya. Tidak sulit bagi Jessi untuk menebak suaranya.
Jessi duduk di kursi meja belajarnya sedang menekan pangkal hidung sambil menggigit bibirnya seperti menahan pusing. Freya seketika membeku saat mata Jessi melirik ke arahnya. Tajam dan dingin, tetapi juga ... lelah. Freya menelan ludah gugup. Siapa sebenarnya sosok di balik tatapan itu? Sorot mata Jessi mendadak menebarkan aura yang begitu asing bagi Freya, ia seolah tidak bisa mengenali Jessi yang sekarang.
Pandangan Freya kemudian turun pada genangan air berwarna hitam serta beberapa pecahan gelas di dekat meja belajar. Freya melebarkan mata dan memberanikan diri melangkahkan kaki memasuki kamar Jessi untuk membersihkannya.
"Cici kenapa, sih?" tanya Freya heran. Ia mengambil beberapa lembar tisu dan mulai memunguti pecahan-pecahan itu dengan hati-hati.
"Freya, nggak usah," gumam Jessi. Dia ingin menghentikan Freya dengan tindakan tetapi tubuhnya terasa sangat lemas. "Biarin aja, Frey."
Tetapi Freya ternyata cukup keras kepala. Dia tidak mau mendengarkan Jessi dan tetap membersihkan pecahan kaca di sana.
"Tadi pas banget aku lewat depan kamar Cici waktu Cici tiba-tiba teriak," ucap Freya sambil sesekali melirik Jessi. Jessi hanya diam memerhatikan Freya. "Aku pikir Cici lihat kecoa atau apa gitu jadi aku biarin, tapi tiba-tiba aku denger suara kaca pecah."
Freya memungut pecahan gelas terakhir kemudian meletakkannya di tisu dan membungkusnya. Freya juga mengambil plastik bekas yang ia temukan di tumpukan kertas tugas tidak terpakai Jessi untuk mengumpulkan pecahan-pecahan itu. Begitu semuanya selesai, Freya menatap Jessi masih dari posisinya saat ini yaitu berlutut di lantai. Sorot mata Jessi sudah berubah kembali seperti sebelumnya. Freya membuang napas lega menyadari itu.
"Kayanya Cici kurang istirahat, deh," ucap Freya menyimpulkan setelah beberapa lama ia mengamati keadaan Jessi dan sekitarnya. Freya melihat banyak buku dan kertas yang berserakan di meja, tidak lupa kantung mata Jessi yang menggelap, dan bibirnya yang pucat. Freya merengut kesal sambil sedikit memicingkan mata. Hari ini rencananya Freya ingin mendiami Jessi karena masih kesal tapi ternyata malah ia yang mendatangi Jessi terlebih dahulu. "Cici udah makan belum?"
"Kamu mau ke mana?" balas Jessi bertanya melihat Freya memakai tas sekolahnya.
Freya seketika melotot. "Jawab dulu pertanyaan aku baru tanya yang lain!"
"Mau ke mana?"
Freya mendengus. Sepertinya Jessi juga sama keras kepalanya dengan dia. "Baru pulang bimbel," jawab Freya walau sedikit kesal. "Jadi Cici udah makan belum?"