Mata Jessi berkedip pelan di antara gelap yang sudah menyelimuti kamarnya. Malam sudah semakin larut, bising lalu-lalang kendaraan juga sudah jarang terdengar. Namun, bukannya terlelap, Jessi semakin tenggelam dalam pikirannya.
Jessi masih memikirkan kejadian sore tadi waktu ia akhirnya memutuskan untuk menjadikan Freya kekasihnya. Apakah dia telah melakukan hal yang benar? Jessi tahu betul mau dilihat dari sudut pandang mana pun dia pasti salah, tapi maksud Jessi adalah apakah ini merupakan keinginannya juga atau hanya sekadar ... menuruti Freya? Jessi tidak bisa berhenti berandai dengan semua itu, bahkan ketika matanya tertutup pun, isi kepalanya tidak beristirahat.
Sepertinya saat ini Jessi sedang ketakutan; ia takut kehilangan Freya, takut orang lain mengetahui kebenaran hubungannya dengan Freya, dan takut ketika salah satu dari segala bentuk pikiran negatif yang menghantuinya beberapa hari terakhir akan menjadi kenyataan. Sekarang bayangan itu terasa lebih nyata dan entah mengapa sangat memungkinkan untuk terjadi. Jessi tidak bisa membayangkan bagaimana masa depan mereka berdua kelak, saat ketika Freya atau dirinya menemukan cinta sejati masing-masing kemudian saling berpisah.
Bukankah itu menyakitkan?
"Tidur."
Suara berbisik itu membuat Jessi menoleh, sudut bibirnya lantas tertarik tipis ketika netra cokelatnya bertemu dengan milik Freya yang tampak mengantuk. Jessi segera mengubah posisinya yang semula telentang jadi miring ke samping, memudahkan Freya untuk memeluk. Jessi membalas pelukan Freya dan menariknya mendekat agar lebih hangat.
"Kebangun? Maaf, ya," balas Jessi.
"Kamu berisik."
"Dari mananya?"
Tangan Freya terulur naik dan mengetuk kening Jessi dengan telunjuknya. "Ini kamu yang berisik," jelas Freya. Gadis itu tahu, meski Jessi sangat sulit diperhatikan tetapi Freya selalu mengamati Jessi. Saat sedang banyak pikiran mata Jessi selalu memandang dengan tajam, bahkan saat dia melamun sekalipun. "aku udah bilang, kita--"
"Hadapin semuanya bareng-bareng," potong Jessi tepat sasaran. Jessi tersenyum lagi walau Freya tak bisa melihatnya. "Aku tahu, Freya. Aku tahu."
"Kalau gitu tidur."
"Hm," jawab Jessi lirih.
Tangannya tidak berhenti mengusap rambut pendek Freya di belakang kepalanya. Senyuman Jessi mengembang tipis kala Freya semakin merapatkan tubuhnya untuk mencari kehangatan. Mungkin Freya benar, kepala Jessi terlalu berisik. Jessi tidak tahu bagaimana cara menghentikan perdebatan tanpa akhir yang terus mengguncang alam bawah sadarnya. Namun, Freya seolah menghantarkan ketenangan lewat pelukannya malam ini karena perlahan-lahan suara itu mulai mereda sejak Freya menyentuhnya. Jessi akhirnya bisa memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya dengan nyaman pada puncak kepala Freya.
•••
"Cici!" panggil Freya sambil melangkah cepat menuruni anak tangga. Gadis itu berbelok ke dapur dan merekahkan senyuman begitu menemukan Jessi sedang mencuci piring. Freya langsung menabrak Jessi dari belakang dan memeluk pinggangnya. "Cici."
"A-apa?" Jessi menoleh panik. Kedua orang tua mereka memang sudah berangkat bekerja, tetapi Jessi masih perlu penyesuaian dengan sifat Freya yang clingy ini.