13. Penantian

2.2K 191 56
                                    

Jessi tidak tahu bagaimana dia harus menggambarkan karakter Freya sejauh ini. Secara garis besar, kepribadian Muthe dan Freya itu nyaris sama. Mereka sama-sama berisik, terlalu percaya diri, ceroboh, banyak mengomel, dan beberapa hal lainnya yang terkadang membuat Jessi pusing. Jika dipikir lagi seharusnya Jessi sudah terbiasa tetapi entah mengapa Freya terlihat berbeda di mata Jessi. Gadis itu punya daya tariknya sendiri yang tidak bisa Jessi deskripsikan. Jessi tidak benar-benar tahu apa yang membuat perasaan itu tumbuh dalam hatinya.

"Ci Jessi ... " panggil Freya, membuyarkan lamunan Jessi. Gadis berambut pendek itu tiba-tiba sudah ada di belakang Jessi dan memeluk lehernya. Jessi menoleh dan bisa melihat Freya tengah meliriknya. "Temenin aku nonton TV di bawah, aku bosen main HP di kamar."

"Bukannya kamu udah biasa sendiri?" tanya Jessi tidak mengerti.

Freya mendengus dan menarik dirinya dari Jessi. "Dasar nggak romantis. Pantes nggak punya pacar," ketusnya kesal kemudian melangkah keluar kamar Jessi.

"Eh, Frey--" panggil Jessi sia-sia karena Freya sudah pergi sambil menghentak-hentakkan kaki. Sepertinya tadi dia terlalu asyik melamun sampai Freya masuk ke kamarnya saja Jessi tidak menyadarinya. Sebelum Freya semakin marah dan merajuk, Jessi segera membereskan buku dan laptopnya di meja belajar dan menyusul Freya ke ruang tengah.

Akhir-akhir ini Freya jadi lebih agresif. Jessi bingung bagaimana harus menceritakannya tapi terhitung sudah tiga hari berlalu sejak Jessi mengatakan akan mempertimbangkan bagaimana baiknya hubungan mereka itu, Freya sangat sering mengejar jawaban. Dia juga tidak ragu lagi untuk menggandeng tangan Jessi, memeluk, atau mencium pipinya secara terang-terangan di depan kedua orang tua mereka untuk membuat Jessi panik ketika Freya sedang kesal padanya. Memang, Jessi tahu dia sudah terlalu lama membuat Freya menunggu, tetapi kekhawatiran Jessi soal masa depan mereka berdua lebih besar. Sekali saja mereka salah berpijak semuanya bisa langsung hancur berantakan. Jessi tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi lagi. Tidak kali ini.

"Ngapain ke sini?" sindir Freya tajam ketika Jessi menemuinya di sofa. "aku udah biasa sendiri."

Jessi tersenyum simpul, sedikit bersalah sempat bicara seperti itu pada Freya. Tanpa memerdulikan ucapan Freya, Jessi mendorong tubuh gadis itu sampai berbaring kemudian memeluknya erat agar tidak jatuh ke lantai. "Maaf, ya. Jangan marah lagi. Aku pusing kamu marah-marah terus," ucap Jessi tenang. Ia menjadikan bahu Freya sebagai bantal dan bersandar nyaman di sana.

"Ck, b-bisa yang bener nggak?" balas Freya malu tetapi dengan nada bicara ketus.

Kalau sudah begini biasanya kepribadian mereka tertukar. Meski terkadang Freya yang terlebih dahulu bergerak untuk menggoda Jessi tapi dia juga yang pertama salah tingkah kalau Jessi menanggapi pancingannya. Freya akan jadi lebih banyak diam dan membatin daripada salah bertindak. Jessi tentu menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin, dia tak akan membiarkan Freya yang sudah tunduk itu menganggur. Namun, kali ini Jessi sedang sangat lelah, kegiatan perkuliahannya yang tak kunjung menyentuh penghujung semester membuat Jessi sedikit frustasi. Dia hanya ingin memeluk Freya saat ini.

"C-Ci?" panggil Freya karena dia mendengar Jessi mendengkur halus.

"Mm, hm?" balas Jessi setengah sadar. Freya langsung mengerucutkan bibir pundung. Dia akhirnya membalas dekapan Jessi dan mengusap rambutnya lembut agar tidur Jessi lebih nyenyak.

Nyatanya, tidak hanya Freya tetapi Jessi juga banyak berubah sejak hari itu. Perubahan yang membuat Freya kaget adalah ternyata Jessi itu manja sekali, melebihi anak kecil. Seperti saat ini. Freya tidak pernah berpikir kalau dengan sentuhan-sentuhan kecil seperti pelukan atau usapan di kepala Jessi bisa terlelap dengan cepat. Meski demikian Freya menyukainya. Freya suka Jessi yang sekarang; Jessi yang hangat, Jessi yang sudah lebih banyak tersenyum, dan Jessi yang sangat memperhatikannya.

FreyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang