"Tapi itu nanti, enggak tahu kapan." Jessi tersenyum tipis mengusap rambut cokelat gelap Freya. "Yang penting sekarang kita masih sama-sama."
Freya balas tersenyum kecil. Meskipun ada perih di hatinya, tetapi pernyataan Jessi berhasil meredakan sedikit rasa sakit itu. Freya menyimpan novelnya setelah memasang pembatas kemudian berbalik memeluk Jessi erat.
"Maafin aku, Ci," lirih Freya. Gadis itu tahu kalau Jessi berbohong soal kegelisahannya, oleh sebab itu Freya selalu merasa bersalah.
"Bukan salah kamu." Jessi mendekap Freya dengan hangat sambil sesekali mengecup puncak kepalanya lembut.
Freya tersenyum dalam rengkuhan Jessi, hatinya berdebar-debar. Sejauh ini hanya Chika dan Jessi yang bisa membuat Freya merasa lebih baik dengan pelukan. Freya suka ketika dia bisa merasakan jantung Jessi berdetak beriringan dengan miliknya seolah mereka sedang saling mengejar satu sama lain.
"Apa kita bisa gini terus?"
"Bisa." Jessi menundukkan kepala membalas tatapan Freya dan tersenyum. "Kamu bisa peluk aku kapan pun kamu mau. Bilang aja, aku pasti dateng."
Freya terkekeh. Jessi mode lembut seperti ini entah mengapa jadi menggelikan, mungkin karena Freya telah terbiasa dengan Jessi dan sifat juteknya. Freya menyentuh pipi Jessi dan mengecup pipi satunya. "Janji, ya?"
"Janji."
Wajah Freya memerah. Jawaban Jessi, tatapan matanya, bahkan belaian lembut Jessi pada rambutnya membuat Freya semakin jatuh. Rasanya tangga atau bahkan tali sepanjang apapun telah tak mampu menjangkau ujung tempatnya berpijak, atau mungkin Freya masih melayang jatuh semakin dalam. Jessi selalu punya cara untuk membuat Freya merasa istimewa.
Gadis berambut pendek itu menahan napas dan perlahan memejamkan matanya karena Jessi mendekatkan wajah mereka. Melihat Freya telah terpejam sepenuhnya, Jessi pun ikut menutup mata dan membiarkan instingnya menuntun ia menuju Freya. Freya bisa merasakan rambut Jessi yang mulai berjatuhan menyapu wajahnya lalu napas mereka yang bertubrukan dan kemudian bibir mereka saling bertemu.
Tidak kasar, tidak tergesa-gesa, hanya kecupan-kecupan lembut dan manis yang Freya rasakan. Bersamaan dengan itu jantungnya kian bergejolak. Freya seolah bisa merasakan cinta lewat sentuhan yang Jessi berikan. Semua rasa sakit, cemas, dan kegelisahan yang sempat bergumul di hati mereka perlahan menjadi lebih lega. Namun, saat mereka masih asyik bermesraan, suara pintu depan yang tiba-tiba terbuka mengagetkan keduanya.
"Mami pulang."
Freya melebarkan mata panik dan tak sengaja langsung mendorong Jessi sampai dirinya sendiri hampir jatuh mengingat posisi Freya yang ada di ujung sofa. Beruntung Jessi sempat menahan Freya agar gadis itu jatuh dengan hati-hati. Mereka seketika langsung bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Jessi merapikan bajunya dan mengambil ponsel sembari berusaha terlihat sibuk, sementara Freya memilih untuk duduk di lantai beralas karpet di depan sofa sambil membaca novel yang sempat ia anggurkan tadi.
Tak berselang lama kemudian, Chika menghampiri mereka di ruang tengah. "Eh, kalian di sini."
"I-iya, hehe, Mi," balas Jessi kikuk.
"Hm, mumpung Mami pulang cepet dan papi besok dapet jatah cuti, gimana kalau malem ini kita barbaque party di halaman belakang?" usul Chika senang. "Nanti kita ajak Buna Eli sama keluarganya juga biar rame. Kebetulan besok weekend juga."
Sekadar informasi, Buna Eli adalah ibu Muthe.
Jessi tersenyum dan mengangguk. "Boleh, Mi."
"Oke, sip! Mami mau mandi dulu sama kabarin papi, kalian juga siap-siap, gih. Abis ini ikut Mami beli bahan-bahannya, ya," ucap Chika kemudian melangkah menuju kamarnya untuk bersih-bersih. Namun, sebelum jauh, Chika menyambung dengan sedikit berteriak. "Omong-omong, buku kamu kebalik, Freya!"