Epilog

871 111 36
                                    

Mobil putih itu melambat sebelum akhirnya berhenti sempurna di tepi jalan sebuah lahan pemakaman keluarga yang lapang. Freya menoleh ke sekitar, mengamati lingkungan yang lebih lenggang di sore hari ini. Langit sudah bersemu jingga, sinar matahari juga mulai meredup. Suasananya sunyi dan tenang.

Freya menoleh ke samping, pada Jessi yang berdiam diri dengan tatapan lurus ke depan dan tampak sekali penuh pikiran. Kedua tangannya betah bertengger di kemudi, mencengkeramnya erat-erat seolah menahan sesuatu. Jessi sedang ketakutan. Kemarin, sepulang dari panti asuhan, Jessi mengatakan pada Freya jika dia tidak bisa terus-terusan menghindari masa lalunya lagi, yang berarti, dia harus menghadapi dan menerima kematian Jesslyn.

"Aku," gumam Jessi lirih, tatapannya belum beralih dari apapun itu yang berada jauh di depan sana, tapi samar Freya sempat melihat mata itu berkaca sebelum akhirnya hilang ketika Jessi berkedip, "ini pertama kalinya aku ke sini lagi, sejak Ci Jesslyn meninggal."

Pandangan Jessi meredup dan jatuh, gadis itu bersandar pada jok mobil, tangannya juga merosot ke bagian bawah kemudi. "Biasanya aku selalu ke sini sama dia buat nengokin mama, tapi sejak hari itu... udah enggak lagi."

Freya menyentuh tangan kiri Jessi lalu membawanya dalam genggaman kedua tangannya yang hangat. Freya menatap wajah samping Jessi yang terlihat pucat. "Kalau kamu belum siap hari ini, kita bisa ke sini lagi besok, kok, Ci. Aku bakal temenin kamu."

"Gak apa, Freya." Jessi terkekeh singkat, menertawakan dirinya sendiri. "Selama ini, aku udah kebanyakan nunda. Kalo udah sampai di sini tapi kita pulang lagi yang ada aku diketawain si Jesslyn-Jesslyn itu. Ayo."

Freya ikut terkekeh kecil dan mengekori Jessi keluar mobil. Freya menghampiri sisi Jessi, setelah Jessi mengambil dua buket bunga di jok belakang, Freya langsung menggenggam tangan Jessi yang bebas dan mengajaknya menaiki tanjakan menuju ke persemayaman Jesslyn juga Fiony di atas bukit kecil itu. Ketika ukiran nama pada nisan marmer itu mulai terlihat, tanpa sadar Jessi mengeratkan genggamannya pada Freya. Langkahnya sedikit gentar, tetapi Jessi tidak berhenti.

Di depan sana, di bawah sebuah pohon besar yang rindang, terdapat dua buah makam bersebelahan. Di sebelah kiri adalah makam Jesslyn, sementara yang di kanan adalah milik Fiony. Freya dan Jessi berhenti di hadapan mereka. Perasaan Jessi segera terasa berat, apalagi ketika matanya membaca nama lengkap Jesslyn yang terlihat masih baru. Jessi menarik napas dalam, berharap kegelisahan dan kecemasannya bisa ikut keluar terbawa hembusan napas.

"Freya," panggil Jessi sedikit bergetar. Freya menoleh, ia melihat Jessi mengambil salah satu buket yang diisi oleh bunga peony. Jessi tersenyum tipis memandangi bunga itu sebentar, ia lalu melangkah maju dan memberikannya di atas makam Fiony, "kamu tahu nama mama aku diambil dari nama bunga peony?"

"Eh, iya?" Freya berkedip cepat.

Jessi mengangguk, dia berlutut di sana dan tersenyum tipis ketika membaca nama Fiony, juga tanggal kematiannya, yang merupakan ulang tahun Jessi.

"Aku enggak pernah tahu mama itu gimana. Maksudnya, kaya sifat atau kebiasaannya," jelas Jessi melanjutkan. Ia lalu menoleh pada makam Jesslyn, "tiap aku sama Ci Jesslyn dateng ke sini buat nengokin mama, dia selalu bawain bunga peony biar aku tahu kalau sifat atau kebiasaan mama sesuai sama arti bunga itu. Kata Ci Jesslyn, peony punya arti kelembutan, keanggunan, dan cinta yang tulus, sama banget kaya sifat mama waktu masih hidup.

"Dia juga selalu kait-kaitin arti itu sama aku. Dia tahu kalau aku selalu ngerasa bersalah soal kematian mama, makanya dia nggak pernah capek kasih tahu kalau pengorbanan mama ngelahirin aku itu karena cintanya yang tulus, bukan sebuah takdir yang harus disesali. Ci Jesslyn selalu kuatin aku pake kata-kata itu.

"Tapi... " Suara Jessi mulai tercekat dan bergetar. "Sekarang dia enggak ada. Aku, aku sendirian, aku nggak punya siapa-siapa buat aku jadiin pegangan. Makanya, selama ini aku takut. Aku takut buat ngehadapin sesuatu yang baru di hidup aku, kaya rasa kehilangan ini misalnya. Papi ada, sih, tapi aku tahu kalau kita berdua sama-sama gengsi, jadinya waktu Ci Jesslyn pergi, aku sama papi malah jadi canggung. Sebelum ada kamu, Freya, aku bener-bener enggak tahu apa yang harus dilakuin. Semuanya abu-abu."

FreyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang