BACA SEASON 1 DULU YANG BERJUDUL THE LEFTOVERS
⭐ TERSEDIA LENGKAP DI WATTPAD ⭐
-oOo-
Semenjak rombongan monster Kureiji menyingkir dari wilayah perkotaan, mereka menemukan satu masalah baru yang harus ditangani. Tak mau masalah ini larut dalam kekac...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
-oOo-
HAL pertama yang Heaven lihat saat dia membuka mata adalah sebungkus dendeng kering dan sebotol air mineral yang diletakkan di dekat kasur. Seseorang sengaja menyiapkan sarapan ini untuknya. Entah siapa, tetapi Heaven bisa menduga bahwa yang menyusup ke kamarnya adalah Claude.
Wanita itu mendorong dirinya duduk seraya mengingat-ingat bagaimana semua ini bermula. Ingatannya berlabuh pada kejadian semalam, ketika Claude mengajak kembali ke penginapan sambil setengah menyeret dan setengah memapahnya―kaki kiri Heaven membengkak parah sampai pada titik dia tak bisa merasakan apa pun selain sengatan kebas yang membutakan. Pria itu menyuruhnya memilih kamar tidur kosong; Yang mana pun, katanya. Tentu saja, berengsek. Heaven tak punya pilihan selain merenggut pintu terdekat dan merebahkan badannya yang lelah di sana. Claude pasti sengaja membawanya ke lorong yang sama tempat semua kawannya tidur, agar dia bisa diawasi dan tak bisa kabur seenaknya.
Lalu, di sinilah Heaven mendarat. Bersama tujuh-orang-tidak-bisa-dipercaya yang memberinya tempat, pakaian hangat, dan makanan hampir kadaluwarsa dengan bayaran informasi mengenai apa pun. Heaven tak tahu apa yang Claude rencanakan, mengapa rombongannya bersikeras menemui Dr. Janeth, atau mengapa mereka selalu terlihat tergesa-gesa. Namun―persetan. Dia tak peduli. Setidaknya dia bisa mendapat pertolongan.
Omong-omong, sudah cukup kontemplasinya. Ada sesuatu di hadapannya yang layak mendapat perhatian lebih. Perjalanan panjang bersama Noah membuatnya lupa kalau dirinya sudah tak makan selama dua hari, jadi dendeng kering itu mengirimkan tinju di perutnya dengan keras; Makan aku! katanya di balik bungkusan lusuh penuh debu. Sial. Demi memakan dirimu aku rela membunuh orang! Heaven menyambar dendeng itu dan memakannya dalam gigitan besar penuh perasaan.
Selagi mulutnya aktif mengunyah, wanita itu menengok ke bawah kasur dan menarik keluar tasnya―benda paling berharga yang nilainya setara dengan nyawanya sendiri. Bukan karena di dalamnya ada foto keluarganya yang telah tewas, tetapi sesuatu yang lain.
Benda keramat, begitu Heaven menyebutnya. Keramat atau keparat. Dua-duanya cocok untuk mendefinisikan betapa luar biasa benda ini karena dapat melumurinya dengan ketakutan sekaligus harapan. Dia tak akan pernah menyerahkannya kepada siapa pun. Bahkan bila ada orang yang hendak menukarnya dengan sebungkus dendeng, Heaven akan membunuh orang itu lebih dahulu dan merebut dendengnya.
Wanita itu menikmati makanannya selama sepuluh menit, sesekali memijat dan mengayunkan kaki ke atas-bawah―sudah tak sesakit kemarin. Claude sebenarnya sempat memberinya krim penghilang nyeri dan obat itu benar-benar ampuh meringankan sakitnya. Itu kabar baik, walau di sisi lain, Heaven harus menganggap ini sebagai utang budi. Dia pergi ke pintu saat makanannya sudah ludes, lalu melongok keadaan di luar.
Lorong penginapan sedang sepi. Pintu-pintu di setiap sisi dinding dibiarkan setengah tertutup, meninggalkan celah sempit untuk diintip. Heaven keluar dengan hati-hati dan mengunjungi kamar satu per satu. Mula-mula, pintu yang terdekat. Catnya berwarna kuning gading (oh, semuanya juga berwarna sama). Didorongnya daun pintu pelan-pelan. Begitu melangkah masuk, Heaven melihat seseorang duduk di kursi anyam yang diposisikan dekat jendela; Claude.